TL : 30. Attack

674 56 53
                                    

Pukulan tiba-tiba Abikara rasakan saat dirinya baru saja menginjakkan kakinya di Balairung. Hal tersebut tentu membuatnya terhuyung ke belakang dengan kuat, lantaran merasa belum siap.

Abikara menatap sang pelaku dengan wajah juga tatapan dingin. Tanpa merasa terprovokasi dengan serangan yang baru saja dia dapatkan tanpa kejelasan dari si pelaku.

"Akhirnya kau datang juga." Wistapati sang pelaku pemukulan berseru tajam.

Menegakkan tubuhnya dengan pelan diselingi oleh ringisan, dia berdiri tegap menantang sang kakak yang masih berada di hadapannya.

"Ada apa kau memukulku?"

Wistapati berdecih sinis mendengar pertanyaan adik satu-satunya itu,
"Kau tak bisa lagi membohongiku, Abikara! Kau pikir, kami semua bodoh sehingga tidak bisa mengetahui niat busukmu itu selama ini?!"

"Tapi ketahuilah, sebaik atau sehebat apapun rencana yang kau buat, aku dan kami semua tetaplah jadi pemenangnya. Kau lihat kondisi kami sekarang? Kami sudah kembali seperti semula." Tutur Wistapati penuh keangkuhan.

Abikara menaikkan sebelah alisnya dengan tatapan bertanya, meskipun dia tau apa yang tengah kakaknya ini bicarakan namun dia memilih untuk bungkam.
"Maksudmu?"

"Tak usah bersikap seolah-olah kau tidak tahu apapun sementara kau lah dalang di balik semua masalah ini?!" Dengan jari telunjuk yang menunjuk tepat di wajah Abikara, Wistapati membentaknya dengan perasaan menggebu-gebu. Sementara putra bungsu Parwati itu tetap pada kebungkamannya.

"Kau kan orang yang membuat kondisi kami mendadak berubah total seperti ini? Dan kau juga kan, orang yang telah menggagalkan peperang antara kerajaan Kandang Wesi dengan Pajajaran?" Dua pertanyaan menuntut dilontarkan Wistapati pada Abikara, sementara Nyi Dahayu dan lainnya hanya diam menyaksikan perdebatan antara kakak-beradik itu.

Abikara sudah menebak hal ini akan terjadi sebentar lagi. Kedatangannya di sana adalah jebakan agar kakaknya ini dapat memojokkan dirinya dengan berbagai tuntutan.

"Kenapa diam?! Jawab pertanyaanku! Atau, karena kami sudah mengetahui niat busukmu membuat kau tidak bisa membalas ucapanku?!" Wistapati kembali membentak adiknya ketika tak mendapati tanda-tanda jika Abikara akan menjawab pertanyaannya.

"Bagaimana kalian bisa menuduhku tanpa adanya bukti?" Tanya Abikara tenang, kembali bersikap tak perduli pada emosi sang kakak yang masih melambung tinggi.

Wistapati berdecih marah karena pertanyaannya tak ada yang mendapatkan jawaban.

"Kau perlu bukti? Baiklah, akan aku tunjukkan buktinya padamu." Kali ini bukan Wistapati yang bersuara, melainkan Nyi Dahayu.

"Bawa masuk." Hanya satu kata itu saja yang Abikara berikan.

Seusai dirinya bersuara, tiba-tiba salah satu prajurit masuk dengan menyeret seorang wanita berpakaian seperti emban kerajaan ini.

"Kau meminta bukti, bukan? Dia lah buktinya. Semua rahasiamu sudah kami ketahui berkat wanita suruhanmu ini." Tatapan Abikara semula tertuju pada Nyi Dahayu yang baru saja bersuara, beralih pada wanita berpakaian emban ini. Tengah menunduk dengan wajah ketakutan serta tubuh bergetar.

"Apa pembelaanmu? Ku beri kau kesempatan untuk membela diri, Abikara." Ujar Nyi Dahayu dengan tatapan yang tak lepas dari Abikara.

Raden Kian Santang -Two Lives-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang