"Rayi." Langkahnya dia bawa tergesa-gesa agar dapat berada lebih dekat dengan sosok itu.
"Rayi, Rayi Kian Santang. Ini benar kau, kan?" Kedua tangannya memegang bahunya disertai remasan kecil, matanya menatap manik indah itu dengan sorot kerinduan yang teramat.
Kian Santang mengangguk dengan senyum manis yang sangat dirindukan oleh semua orang di tanah pasundan ini, senyum yang sudah lama tak dapat mereka lihat kini telah kembali lagi.
"Iya Raka, ini aku. Kian Santang." Tanpa mengulur waktu, Gagak Ngampar lantas menarik tubuh itu ke dalam dekapannya. Menyalurkan perasaan rindu yang sudah lama dia pendam akhirnya dapat dia keluarkan langsung pada orangnya.
"Aku sungguh merindukanmu, Rayi. Kemana saja kau selama ini? Hingga tak memberi kabar pada kami. Kau tau, semua orang disini selalu memikirkanmu." Ucap Gagak Ngampar di sela pelukan mereka. Dia semakin erat memeluk adiknya.
Begitupun dengan Kian Santang, dia membalas pelukan sang kakak tak kalah erat. Dia sungguh menyayangi seluruh saudara-saudaranya.
"Aku pun sama, Raka. Aku juga merindukan kalian." Setelah 30 detik kemudian, Kian Santang menguraikan pelukan keduanya. Manik indahnya menatap putra tunggal Ambet Kasih itu dengan hangat.
Kerutan di dahi Kian Santang muncul saat menangkap sikap aneh Gagak Ngampar, "Raka, apa yang kau lakukan? Kenapa kau memperhatikanku seperti itu?"
"Tidak, Rayi. Aku hanya memeriksa, apakah ada luka di tubuhmu." Jawab Gagak Ngampar sembari membulak-balikkan tubuh adiknya.
"Astagfirullah, Raka. Aku dalam keadaan sehat, tak ada luka apapun di tubuhku."
Gerakan Gagak Ngampar terhenti seketika. Dia menatap tajam Kian Santang yang membuat sang empu mengernyit,
"Mungkin saja kau berbohong. Aku tau watakmu, Rayi. Ketika kau terluka, kau pasti tidak akan memberi tahu siapapun. Dan hanya mengobatinya seorang diri. Oleh karena itu, aku hanya ingin memeriksanya sendiri. Agar tak ada satupun luka yang kau sembunyikan dariku.""Tidak Raka, aku sungguh baik-baik saja. Kau tak usah mengkhawatirkan aku."
Perdebatan kecil terjadi diantara keduanya, tak ada satupun yang ingin mengalah. Prajurit yang berjaga disana, tersenyum bahagia. Karena sebelumnya, mereka sama sekali tidak tahu jika remaja yang tadinya mengaku sebagai rakyat biasa dan ingin menemui keluarga istana merupakan pangeran yang kehadirannya sudah di tunggu oleh semuanya.
"Putraku, putraku Kian Santang."
Keduanya secara bersamaan menoleh ke arah yang sama, dimana ibu dari Kian Santang tiba dengan air mata yang sudah mengalir. Ditemani oleh Ambet Kasih dan Kentring Manik-- istri lain dari Prabu Siliwangi.
"Ibunda." Tangis Subang Larang makin pecah karena suara yang selama ini hanya mampu dia dengar di dalam sholat maupun tidurnya memanggilnya.
Dia langsung berlari, menghamburkan dirinya ke dalam pelukan hangat putra bungsunya.
Sebelumnya, mereka juga diberitahukan oleh prajurit yang tadi melaporkan hal ini pada Gagak Ngampar. Mereka tentu merasa heran siapa yang di maksud oleh prajurit itu, maka mereka segera bergegas ke depan untuk melihatnya.
"Kemana saja kau, nak. Kenapa tak pulang, ibunda sangat merindukanmu." Ucap Subang larang, dia mengelus punggung itu dengan penuh perasaan.
"Alhamdulillah, Ya Allah. Kau telah mengembalikan putraku Kian Santang dengan selamat tanpa ada satupun yang kurang." Subang Larang memanjatkan rasa syukurnya pada sang Pencipta, karena telah menjaga dan mengembalikan putranya.
"Ibunda, Rayi. Sebaiknya kita bicarakan ini di dalam saja." Tiba-tiba Gagak Ngampar menyela. Bukan bermaksud menghancurkan momen haru di antara mereka, namun dia hanya takut ketika mereka masih larut dalam kebahagiaan, hal-hal yang tidak diinginkan terjadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Raden Kian Santang -Two Lives-
Ficción históricaDua sudut kehidupan yang berbeda, menunjukkan bagaimana mereka menyikapi masalah yang hadir di kehidupan masing-masing. Terkadang, ada kala dimana pikiran selalu menggiring untuk berhenti. Namun hati kecil dalam diri selalu menolak dan terus meyaki...