Setelah setengah hari menghabiskan waktu bersama keluarganya di tempat khusus tadi, saat ini Kian Santang sudah berada di dalam wismanya sendiri.
Dia menatap setiap sudut ruangannya dengan lekat, tak ada satupun yang berubah disini. Semuanya tetap sama seperti dulu sebelum dia pergi.
Putra bungsu Subang Larang itu kembali keluar dari wismanya untuk mengambil air wudhu, karena sebentar lagi akan memasuki waktu sholat asar. Pakaiannya pun kini telah berganti layaknya seorang pangeran sejati, berwarna biru yang dipinggirnya dihiasi dengan warna emas. Sangat cocok untuknya.
Seusai mengambil air wudhu, Kian Santang memasuki mushola yang mana disana sudah ada Syekh Nurjati-- gurunya, Walangsungsang, Rara Santang, Subang alarang serta Ambet Kasih.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam." Seluruh orang yang berada disana menjawab salam dari pangeran kesayangan pajajaran itu.
Kian Santang melewati semuanya hingga dia berdiri di shaf paling depan, untuk mengumandangkan adzan dengan kedua tangan yang dia taruh di samping telinga. Tak lupa dengan salah satu jari dia masukkan ke dalam telinga.
Semuanya larut dalam indahnya suara Kian Santang yang terdengar begitu merdu ketika pangeran Pajajaran itu mulai melantunkan adzan. Menatap kagum pada sosok yang berdiri membelakangi mereka.
Ketika selesai mengumandangkan adzan, Kian Santang berjalan mundur untuk duduk di samping kiri Walangsungsang.
Beberapa menit menunggu, Kian Santang kembali bangkit dari duduknya untuk mengumandangkan iqomah. Karena waktu pelaksanaan sholat asar telah tiba.
Kian Santang kembali mundur dan mempersilahkan Syekh Nurjati untuk menjadi imam.
..........
Sinar bulan menyinari kerajaan Pajajaran, membuat Kian Santang yang berdiri disana tersenyum manis.
Larut dalam keindahannya alam, membuatnya tak sadar jika ada seseorang yang sudah berdiri di sampingnya.
"Larut malam seperti ini kau keluar, Raka. Kau bisa sakit, karena malam ini cuacanya cukup dingin." Kalimat ini sukses membuat Kian Santang tersentak di tempat. Dia menoleh ke samping dimana terdapat sosok Surawisesa tanpa mahkota binakasi di kepalanya.
"Rayi? Sejak kapan kau ada disini? Dan dimana mahkotamu? Jika petinggi kerajaan melihatnya, kau akan terkena masalah, Rayi Prabu." Kian Santang bertanya dengan kerutan di dahi.
"Tidak lama setelah kau berdiri disini." Ujar Surawisesa kemudian menjeda kalimatnya.
"Dan mereka tidak akan berani melakukan itu, atau akan aku patahkan leher mereka jika berani melakukan itu." Jawab Surawisesa dengan kekehan kecil.
Kian santang membulatkan matanya, "Itu berarti kau sudah berada disini cukup lama? Kenapa tidak mengatakannya, Rayi Prabu?"
"Aku hanya tidak ingin mengganggumu saat kau masih sibuk mengagumi rembulan, Raka."
Kian Santang menghela nafas pelan, "Maafkan aku, Rayi Prabu. Aku sungguh tak menyadari jika kau berada disampingku sejak tadi. Kalau aku tau, aku pasti tidak akan mengabaikanmu."
"Tidak apa Raka, tak usah terlalu dipikirkan."
"Baiklah."
Hening menerpa keduanya. Mereka sama-sama terpukau pada satu titik yang sejak tadi Kian Santang pandang. Hingga tak lama kemudian, suara Surawisesa kembali terdengar membuat Kian Santang menaruh fokus penuh padanya.
"Ada sesuatu yang ingin aku katakan padamu, Raka." Surawisesa menatap Rakanya dengan lekat, sementara Kian Santang masih bergeming dengan perasaan bertanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Raden Kian Santang -Two Lives-
Fiction HistoriqueDua sudut kehidupan yang berbeda, menunjukkan bagaimana mereka menyikapi masalah yang hadir di kehidupan masing-masing. Terkadang, ada kala dimana pikiran selalu menggiring untuk berhenti. Namun hati kecil dalam diri selalu menolak dan terus meyaki...