Surawisesa menatap seluruh orang di ruangan itu secara bergantian, menunggu respon apa yang di berikan oleh orang-orang ini.
"Menurut hamba. Dengan kedua bukti dan gerak-gerik mencurigakan yang diberikan langsung oleh Raden Gagak Ngampar, Gusti Prabu Amuk Marugul dan Raden Surosowan sudah tidak bisa di toleransi lagi, Gusti Prabu." Salah satu petinggi di sana mengusulkan pendapatnya pada sang Prabu Anom.
Kini mereka tengah melakukan perundingan di Balairung membahas tentang bukti yang di berikan Gagak Ngampar, juga mengungkapkan apa yang sudah selama ini dia amati secara diam-diam pada Surawisesa. Oleh karena itu, sang Prabu Anom segera mengadakan pertemuan saat itu juga.
"Hamba setuju dengan pendapatnya, Gusti Prabu. Apalagi beberapa hari lalu mereka berniat mencelakai Raden Kian Santang. Di tambah lagi untuk kesekian kalinya, Prabu Amuk Marugul dan Raden Surosowan kembali melakukan pengkhianatan dengan bergabung bersama Kandang Wesi. Yang sudah jelas bahwa kerajaan itu merupakan musuh Pajajaran." Timpal Ki Daksina dengan suara tegas. Matanya memancarkan keinginan untuk melumpuhkan kedua orang itu. Namun sepertinya, kepala prajurit itu sadar diri siapa dia sebenarnya.
Mereka semua menatap kedua bukti yang saat ini berada di sebuah alas, terletak tak jauh dari kursi kebesaran Surawisesa. Kemudian fokus mereka teralihkan pada Gagak Ngampar yang tiba-tiba bersuara.
"Rayi Prabu. Jika kau tidak keberatan, bolehkah aku juga turut memberikan sedikit pelajaran pada mereka?" Gagak Ngampar menatap adik keempatnya dengan lekat. Sebisa mungkin menekan suaranya agar tidak terlalu kentara bahwa dirinya benar-benar geram pada paman dan adik kandung dari Surawisesa.
Surawisesa yang mengerti arti tatapan kakak sulungnya hanya dapat mengangguk setuju,
"Tentu saja, Raka."Mendapatkan persetujuan seperti itu, Gagak Ngampar mengulas sebuah senyum puas. Putra tunggal Ambet Kasih itu sangat menanti hari dimana dirinya juga akan turut dalam memberikan hukuman kepada kedua orang-- topik yang menjadi bahan pembahasan mereka saat ini.
"Baiklah. Hukuman Uwak dan Rayiku akan kita putuskan nanti saat kita berhasil menyeret mereka kembali ke sini." Semuanya mengangguk setuju dengan penuturan Surawisesa.
..........
"Ibunda, bolehkan aku masuk?" Suara ketukan pintu di susul oleh suara Kian Santang menggema, membuat Kentring Manik yang sempat melamun tersentak kemudian menoleh ke arah pintu.
"Masuk saja, putraku." Ujar Kentring Manik dari dalam. Pintu wisma berbunyi kecil, pertanda bahwa seseorang telah memasuki area kamarnya. Kian Santang berjalan mendekati sang ibunda yang terduduk di kasurnya.
"Apakah aku mengganggu waktumu, bunda?" Kian Santang bertanya dengan posisi berdiri tepat di samping Kentring Manik.
Mendengar pertanyaannya, istri ketiga Siliwangi itu segera menggeleng. Dia mendongak agar bisa menatap wajah menenangkan milik Kian Santang.
"Tidak. Ibunda sama sekali tak terganggu, putraku." Kian Santang mengangguk sembari tersenyum lembut."Kemarilah. Duduk di sini. Apakah kau tak ingin duduk di samping ibunda?" Kentring Manik menepuk sisi ranjangnya yang kosong agar Kian Santang duduk di sana.
Tanpa di perintah dua kali, Kian Santang segera mendudukkan tubuhnya di samping sang ibu. Mereka berdua terdiam sejenak sebelum Kian Santang mulai membuka suaranya.
"Apa yang tengah ibunda pikirkan?" Tanpa menoleh, Kian Santang tau jika ibunya ini tengah memikirkan sesuatu. Bahkan sebelum dia masuk ke dalam wisma Kentring Manik, dia dapat menebak jika ibunya itu juga sedang melamun.
Kentring Manik sedikit terkejut kemudian menormalkan ekspresi wajahnya yang sempat kaku, dia menggeleng sembari menatap putra lain dari suaminya sekilas.
"Tidak ada, putraku. Ibunda sedang tak memikirkan apapun."
KAMU SEDANG MEMBACA
Raden Kian Santang -Two Lives-
Tarihi KurguDua sudut kehidupan yang berbeda, menunjukkan bagaimana mereka menyikapi masalah yang hadir di kehidupan masing-masing. Terkadang, ada kala dimana pikiran selalu menggiring untuk berhenti. Namun hati kecil dalam diri selalu menolak dan terus meyaki...