TL : 07. Dispute

422 75 6
                                    

Sosok yang tak lain merupakan Abikara berjalan memasuki ruang Balairung dengan mata yang menyorot nyalang ke arah Wistapati.

Saat Abikara tengah berada di sekitar halaman kerajaan, dia melihat sosok yang begitu dia kenal. Abikara lantas mengikuti kemana dua sosok itu pergi.

Hingga langkahnya terhenti ketika mereka-- Kian Santang dan Yudakara memasuki ruang Balairung.

Dia memerintahkan para prajurit yang berjaga di depan ruangan itu untuk pergi, sementara dia berdiri di sana. Untuk mendengar apa saja yang mereka bahas di sana.

Semua percakapan mereka, Abikara mendengarnya. Sampai, sebuah kalimat yang mampu membuat amarah di dalam dirinya keluar begitu saja saat mendengar ucapan Wistapati.

Maka tanpa pikir panjang, Abikara memasuki ruangan itu sembari berteriak dengan penuh amarah. Mata yang serupa seperti milik Kian Santang itu menatap tajam ke arah Wistapati.

Abikara sungguh ingin menghabisi sosok di hadapannya ini, ketika dia sama sekali tidak menunjukkan ekspresi menyesal.

Kedua tangannya mengepal, ketika perkataan Wistapati kembali terngiang-ngiang di benaknya.

"Sebelum kau melihat ibunda Ratu mati, akan ku buat kau terlebih dahulu menemui ajalmu." Abikara menggeram. Dia melangkah lebih dekat hingga dia berdiri di samping kiri Kian Santang. Membuat keduanya terlihat seperti saudara kembar.

Parwati menatap putra bungsunya dengan tatapan haru, dia masih bersyukur memiliki Abikara yang masih menghormatinya. Walaupun terkadang, Abikara masih terkesan dingin pada semua orang.

"Rayi, ada apa denganmu? Kenapa kau justru marah denganku?" Wistapati bertanya dengan heran.

Geraman marah kembali terdengar di ruangan itu, tentunya berasal dari Abikara yang semakin marah terhadap sikap Wistapati yang tak tau diri.

"Raka! Kau akan menyesal, karena sudah berbicara lancang pada ibunda Ratu!" Abikara langsung menyerang Wistapati. Kedua pangeran itu keluar dari Balairung menuju halaman istana untuk bertarung.

...........

Parwati, Kian Santang serta Yudakara mengikuti kemana kedua orang itu pergi. Mereka terlihat seperti penonton pertarungan antara kakak beradik itu.

Ini di luar kendali, Kian Santang sama sekali tak menginginkan adanya pertarungan di antara mereka. Tujuannya pergi ke kerajaan Kandang Wesi dengan niat baik, bukan untuk memecah belah persaudaraan dari putra Parwati.

"Putraku, berhenti! Janganlah kalian saling mengangkat tangan untuk bertarung! Ibunda mohon, berhenti!" Pekikan Parwati sama sekali tak di dengar oleh kedua putranya. Mereka sudah terlanjur termakan oleh emosi mereka masing-masing.

Bugh!

Satu pukulan telak tak dapat Wistapati hindari, mengakibatkan tubuhnya terhuyung beberapa langkah ke belakang. Karena adiknya, memberikan sedikit tenaga dalam terhadap pukulannya tadi.

"Bedebah kau, Abikara!"

Wistapati menyerang balik Abikara, dengan berbagai serangan yang dia lemparkan terhadap adiknya itu. Namun tak ada satupun pukulan yang dapat melukai kulit mulus Abikara,
"Sialan."

Ketika netranya tak sengaja melihat sebuah pedang tergeletak tak jauh dari tempatnya berdiri, dengan gerakan cepat Wistapati meraihnya. Pedang tersebut dia acungkan pada Abikara yang nampak tak gentar terhadapnya.

Pertengkaran kembali terjadi, Abikara terus bertahan menghadapi Wistapati dengan tangan kosong. Meskipun dia tak menggunakan senjata apapun, kekuatannya sudah cukup untuk mengalahkan kakaknya.

Abikara mengelak, ketika pedang yang di gunakan Wistapati hampir saja menebas lengan bagian kanannya. Dia menatap Wistapati dengan tatapan remeh,
"Kau takkan bisa mengalahkanku dengan kemampuanmu yang masih berada di bawahku, Raka."

Wistapati mengeratkan genggamannya terhadap gagang pedangnya, ucapan Abikara terkesan meremehkan dirinya. Dan Wistapati tak suka, jika ada seseorang yang menganggapnya remeh.

Ketika dia hendak kembali menebaskan pedangnya, seseorang tiba-tiba berada di tengah-tengah mereka membuat ayunan pedang milik Wistapati berhenti seketika.

"Hentikan pertarungan kalian!" Ujar Kian Santang dengan lantang. Mata indahnya menyorot tegas pada dua pangeran itu.

"Tidak ada gunanya kalian saling bertarung, yang pada ujungnya takkan menghasilkan apapun." Keduanya diam, tak ada satupun diantara mereka yang mampu membalas perkataan Kian santang.

"Apakah kalian tidak memikirkan bagaimana perasaan Gusti Ratu Parwati, ketika harus melihat kedua putranya saling bertarung seperti ini?" Kian Santang melirik sekilas pada wanita yang berada di samping Yudakara, sedang menampilkan wajah khawatir miliknya.

Lalu tatapannya beralih pada Abikara,
"Aku paham bagaimana perasaanmu ketika Raden Wistapati berkata demikian, Abikara. Benar, jika aku mengatakan tidak semua permasalahan bisa terselesaikan dengan kepala dingin. Pasti ada pertarungan yang terjadi di antara kedua belah pihak."

"Tapi saat ini, bukanlah waktu yang tepat. Karena ada hal lain yang harus kita selesaikan hari ini juga." Imbuh Kian Santang.

Tiba-tiba sebuah pedang melesat cepat ke arahnya dan hampir menancap di lehernya, jika saja Kian Santang tak segera menghindar. Memang tidak berdarah, hanya saja meninggalkan bekas goresan yang tercipta akibat lesatan pedang tersebut.

Kian Santang sontak menoleh ke sampingnya ketika dia merasa kehadiran orang lain.

"Kurang ajar?!" Ketika melihat Kian Santang di serang, Yudakara lantas berlari mendekati mereka yang langsung berhadapan dengan sang pelaku.

Hendak menyerang orang itu, tapi Yudakara berhenti saat suara Abikara lebih dulu menarik perhatian semuanya.

"Palwaguna! Apa yang kau lakukan?!" Abikara berteriak marah terhadap senopati Kandang Wesi itu yang secara mengejutkan menyerang Kian Santang.

"Kenapa Raden? Kenapa Raden marah? Aku hanya memberi pelajaran pada orang Pajajaran ini untuk tak banyak bicara." Palwaguna membela diri, sembari menatap Kian Santang dengan remeh.

Abikara berdecih, "Tapi tidak dengan menyerangnya. Kau bisa saja menimbulkan kemarahan dari keluarganya karena telah menyerang pangeran mereka."

Wistapati serta Palwaguna mengernyit, merasa heran dengan sikap Abikara yang terkesan melindungi Kian Santang. Padahal mereka tau, jika Abikara juga memiliki dendam pada Pajajaran serta keluarganya.

"Aku tidak perduli dan tak takut, Raden. Siapapun orang yang berhubungan dengan Pajajaran, akan aku habisi. Termasuk Kian Santang. Sesuai dengan janjiku terhadap Raden Wistapati." Palwaguna membalas ucapan Abikara dengan sengit. Dulu dia memang berjanji pada Wistapati, kalau dia akan membantunya untuk menyingkirkan orang-orang Pajajaran.

"Lebih baik kau tidak usah ikut campur, ini urusan keluargaku. Sedangkan kau tak memiliki hak apapun untuk mencampurinya. Ingatlah posisimu Palwaguna. Disini, kau hanya sebagai senopati bukan bagian dari keluargaku. Jadi jaga batasanmu sebelum aku sendiri yang menyadarkanmu dimana posisimu sebenarnya." Kata-kata menusuk Abikara lontarkan, membuat Palwaguna merasa tersinggung terhadap perkataannya.

Abikara sama sekali tak tanggung-tanggung untuk berbicara kasar pada orang lain, putra bungsu Parwati itu sama sekali tak perduli dengan perasaan orang yang sudah dia lukai. Karena selagi dia bisa melampiaskan amarahnya langsung pada orangnya, maka Abikara tak perlu membuang kesempatan itu.

Palwaguna menatap Abikara dengan tatapan tak terima, "Seandainya kau bukan adik dari Raden Wistapati, aku pasti akan langsung menghabisimu karena telah menghinaku, Abikara."

Ingin mengatakannya secara langsung namun Palwaguna tak bisa, pada akhirnya dia hanya dapat mengatakannya di dalam hatinya saja.

Raden Kian Santang -Two Lives-
Kamis, 20 April 2023

Note :

Setelah 7 purnama, akhirnya si Zul comeback juga. Mana mainnya pas bgt lgi. Ngeliat si aden yg langsung melek terus bangun, kek org kesurupan anjir, tau-tau langsung terbang ke langit aje😂😭

Raden Kian Santang -Two Lives-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang