"Kau, gerakan tanganmu salah." Ki daksina selaku kepala prajurit membenarkan gerakan salah satu prajuritnya yang dia anggap salah.
Dia memegang salah satu lengannya kemudian mengerakkannya sedikit ke kiri,
"Seperti ini. Pertahankan agar gerakannya tidak berubah."Setiap hari, dia melatih prajurit-prajuritnya dengan tekun. Dan itu membuahkan hasil. Kemampuan para prajurit sedikit demi sedikit semakin membaik.
"Paman daksina." Sebuah suara datang dari arah belakang membuat Ki daksina menoleh. Sontak dia membungkukkan tubuh ketika mengetahui siapa yang datang menghampirinya.
"Gusti Prabu." Ucapnya dengan menunduk hormat, diikuti oleh prajurit yang berlatih bersamanya.
Surawisesa mengangguk pelan, "Lanjutkan latihan kalian."
Perintah itu tertuju pada semua prajurit disana, mereka mengangguk patuh kemudian kembali berlatih. Meninggalkan Ki daksina bersama dengan Surawisesa.
"Bagaimana hasilnya paman? Apakah ada perkembangan?" Tujuan Surawisesa datang kesana hanya untuk melihat secara langsung, semua prajuritnya berlatih serta mengetahui perkembangan mereka lewat Ki daksina.
"Sedikit membaik, Gusti Prabu. Meskipun tempo yang mereka butuhkan tidak cepat, tapi ini sudah dapat menjadi bekal mereka dalam bertarung di medan perang nantinya." Jawab Ki daksina tanpa mengurangi rasa hormatnya kepada anak junjungannya.
Surawisesa mengangguk paham saat mendengar ucapan Ki daksina. Ada perasaan sedikit lega di hatinya,
"Bagus. Aku mau kau latihlah mereka, hingga mereka siap. Bukan hanya dalam segi kemampuan, mereka juga harus siap mengorbankan nyawa mereka demi kerajaan Pajajaran.""Sendika Gusti Prabu." Sahut Ki daksina sembari menundukkan kepalanya.
..........
Saat ini kedua putra Siliwangi itu tengah berkeliling di perumahan rakyat, keduanya memperhatikan rakyat Pajajaran yang melakukan aktivitas mereka.
Namun ketika salah satu diantara mereka menyadari kedatangan saudara dari Raja mereka, dia langsung berlari mendekat dan bersimpuh.
"Hormat hamba Raden Gagak Ngampar, Raden Kian Santang." Mendengar kedua nama itu, sontak semua rakyat Pajajaran yang tadinya sibuk pada urusan mereka menoleh.
Dikarenakan suara rakyat yang pertama kali menyadari kehadiran Gagak Ngampar dan Kian Santang lumayan keras, sehingga mampu membuat kegiatan mereka terhenti.
"Ah, bangunlah paman. Jangan berlutut di hadapan kami." Ketika melihat semua rakyat Pajajaran bersimpuh di hadapannya dan Gagak Ngampar, putra bungsu Subang Larang itu langsung memerintahkan mereka untuk berdiri.
Sebab Kian Santang tidak suka jika ada orang lain berlutut di hadapannya, karena dia merasa bahwa dirinya hanyalah manusia biasa yang tak patut di agungkan.
Dan para warga itu pun langsung menuruti perintah dari Kian Santang.
"Ada keperluan apa Raden Gagak Ngampar dan Raden Kian Santang datang kesini?" Tanya salah satu pria diantara mereka.
"Tidak ada paman. Kami hanya ingin bersinggah di perkampungan karena kami hanya ingin memantau keadaan saja." Kali ini Gagak Ngampar ikut berbicara untuk menjawab pertanyaan pria itu.
Semuanya lantas mengangguk paham mendengar penjelasannya.
Lalu, perhatian Kian Santang teralihkan terhadap satu-satunya anak laki-laki yang berdiri di posisi paling belakang.
Hal yang mampu membuat Kian Santang bertanya-tanya adalah, wajah anak itu terlihat sendu.
Putra bungsu Subang Larang itu berjalan melewati para orang dewasa demi mendekati anak kecil itu, dia kemudian bersimpuh di hadapannya membuat pandangan anak tersebut jatuh kepadanya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Raden Kian Santang -Two Lives-
Ficção HistóricaDua sudut kehidupan yang berbeda, menunjukkan bagaimana mereka menyikapi masalah yang hadir di kehidupan masing-masing. Terkadang, ada kala dimana pikiran selalu menggiring untuk berhenti. Namun hati kecil dalam diri selalu menolak dan terus meyaki...