Amuk Marugul menutup pintu wisma Kian Santang dengan pelan, supaya tidak menimbulkan suara yang dapat membangunkan sang pemilik kamar.
"Jangan menimbulkan suara, Raden." Amuk Marugul kembali berbisik pelan pada keponakannya yang berada di sampingnya. Surosowan mengangguk paham sembari melirik pamannya.
Perlahan, keduanya berjalan mendekati tubuh Kian santang yang terbaring di atas tempat tidurnya.
Amuk Marugul berinisiatif mengecek keadaan, apakah aman ketika dia mulai melancarkan aksinya dengan mengibaskan sebelah tangannya di depan wajah Kian Santang.
Paman dari Surosowan itu mengangguk setelah dia merasa yakin jika Kian Santang memang sudah tertidur pulas.
Dia mengedarkan pandangannya ke sekeliling wisma itu dan matanya seketika terhenti pada sebuah benda yang terletak tak jauh dari tempatnya.
Surosowan mengikuti kemana pamannya itu berjalan, hingga berhenti di sebuah tempat khusus untuk menyimpan perlengkapan sholat.
"Berikan botol itu pada Uwak, Raden." Di tangannya sudah ada sebuah sajadah yang dia yakini sebagai alas untuk Kian Santang melaksanakan kewajibannya.
Surosowan maju mendekati sang paman ketika perintah itu keluar. Mengulurkan tangan kanannya dan memberikan sebuah botol kecil yang sejak tadi dia genggam. Botol pemberian Amuk Marugul.
Amuk Marugul menerimanya, dia menatap botol di genggamannya dengan senyum sinis. Kemudian dia menaburkan isi dari botol itu pada sajadah milik Kian Santang.
Netranya kemudian dia alihkan pada Kian Santang sembari menampilkan smirk,
"Ketika kau menghirup racun yang ku taburkan ini, kau akan lumpuh. Lihat saja nanti."Setelah selesai Amuk Marugul kembali meletakkan sajadah itu ke tempat semula.
"Mari Raden." Amuk Marugul mulai mengajak keponakannya untuk keluar.
Tapi sebelum mereka dapat membuka pintu wisma Kian Santang, seseorang terlebih dahulu memasuki kamar itu membuat tubuh mereka membeku.
Gagak Ngampar-- sang pelaku menatap kedua orang di hadapannya dengan penuh selidik,
"Sedang apa kalian di wisma Rayi Kian Santang?"Tentu saja dia merasa heran dengan presensi mereka disana, sementara sang pemilik kamar sedang tertidur.
Terlebih ketika Gagak Ngampar melihat satu prajurit yang berjaga tergeletak di depan membuatnya curiga. Maka dengan cepat, Gagak Ngampar membuka pintu itu. Namun justru dia mendapati keberadaan Amuk Marugul bersama keponakannya.
"A-ah kami-- kami ingin bertemu dengan Raden Kian Santang, Raden." Amuk Marugul menjawab pertanyaan putra sulung dari adik iparnya dengan terbata-bata.
Gagak Ngampar menatap Amuk Marugul dan Surosowan dengan tajam,
"Untuk apa? Bukankah kalian tau ini sudah larut malam? Seharusnya kalian dapat menebak, jika Rayi Kian Santang pasti sudah tertidur."Amuk Marugul di buat mati di tempat oleh Gagak Ngampar, putra sulung Siliwangi ini berbeda dengan putra-putrinya yang lain. Gagak Ngampar tipe orang yang tidak suka bertele-tele dan salah satu orang yang harus mereka waspadai.
"L-lalu Raden sendiri? Untuk apa datang ke wisma Raden Kian Santang?" Gagak Ngampar memutar matanya jengah ketika orang sepertinya yang sayangnya pamannya sendiri malah bertanya balik kepadanya.
"Aku sedang memeriksa keadaan Rayi Kian Santang, barangkali ada yang berniat melukainya dengan menyerang adikku ketika dia tertidur atau meracuni minuman serta barang-barang miliknya."
Amuk Marugul dan Surosowan menelan saliva mereka susah payah, ketika kalimat yang Gagak Ngampar lontarkan memang benar adanya.
"Bagaimana denganmu? Kenapa kau menemui adikku?" Rasa ketakutan mereka makin bertambah saat Gagak Ngampar kembali menanyakan perihal kedatangan mereka ke sini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Raden Kian Santang -Two Lives-
Ficción históricaDua sudut kehidupan yang berbeda, menunjukkan bagaimana mereka menyikapi masalah yang hadir di kehidupan masing-masing. Terkadang, ada kala dimana pikiran selalu menggiring untuk berhenti. Namun hati kecil dalam diri selalu menolak dan terus meyaki...