Sudah terhitung dua kali, dan untuk yang ketiga kalinya Nyi Dahayu dan lainnya kembali berkumpul di Balairung. Semuanya ada di sana, kecuali Abikara dan Parwati.
Semuanya memfokuskan diri pada Nyi Dahayu yang bergeming di tempatnya, mereka ada di sini karena katanya Nyi Dahayu telah menemukan cara untuk membuat tubuh mereka kembali normal.
"Ayolah, katakan sesuatu! Bukankah tujuanmu menyuruh kami berkumpul di sini untuk membicarakan sesuatu?" Hariwangsa tipe orang dengan ketidaksabaran yang tinggi, hal itu membuatnya merasa muak berada di tengah-tengah keheningan mencekik ini.
Nyi Dahayu berdecak, "Sabarlah, Hariwangsa! Kau berisik sekali!"
"Hei, Nyi! Kau pikir sesabar apa aku yang sejak tadi menunggumu bicara?! Aku dan mereka ada di sini karena perintahmu! Tapi kau justru bungkam seperti patung!" Bentak Hariwangsa tak suka.
"Jaga bicaramu, bedebah! Orang yang kau bentak itu guruku!" Wistapati menyahut dengan suara yang tak kalah keras.
Hariwangsa mendelik dengan tatapan menghunus tajam ke arahnya,
"Aku tidak perduli!""Kau--"
"Hentikan." Jika bukan karena gurunya, dapat Wistapati pastikan jika tubuh pria dengan rambut gelombang kecil panjang berikat kepala yang menutupi keningnya itu sudah menjadi sasaran empuknya.
"Sesuai dengan kalimat 'Seberapa mematikan sebuah racun, hanya racun lainnya lah yang dapat menyangkal racun tersebut'. Dan, dalam kasus ini kita bisa mengambil maksud di balik kalimat itu." Nyi Dahayu membuka pembicaraan mereka dengan kalimat yang membutuhkan proses untuk mencerna kalimatnya.
Seolah memahami kalimat Nyi Dahayu, Nyi Baranang menoleh pelan dengan tatapan menuntut.
"Jadi, maksudmu--"Nyi Dahayu mengangguk, "Ya, itulah cara yang ku temukan. Jadi ku rasa, hal ini akan berhasil."
Wanita penyihir dengan rambut putih bergelombang panjang itu menyeringai, sangat paham terhadap apa yang tengah di pikirkan oleh Nyi Dahayu.
Sementara orang-orang yang berada disana, mengernyit tak mengerti dengan pembicaraan tanpa kejelasan di antara kedua pendekar Golongan Hitam itu.
"Apa yang sedang kalian bicarakan?" Dewi Medusa bertanya dengan tidak sabar.
Baik Nyi Dahayu maupun Nyi Baranang, keduanya menatap Dewi Medusa juga yang lain. Mereka sama-sama menunjukkan senyum misterius.
"Aku tau bagaimana menyelesaikan masalah ini." Ujar Nyi Dahayu dengan angkuh, jangan lupakan senyumannya yang masih tersungging lebar di wajahnya.
..........
Mata yang semula terpejam dengan posisi terduduk di atas ranjang perlahan terbuka. Bibir itu telah menyunggingkan sebuah senyum sinis dengan tatapan lurus, seolah tengah menatap lawan bicaranya saat ini.
Abikara berdecih remeh dengan senyuman yang senantiasa terukir di wajah tak berekspresinya,
"Rupanya ini lebih cepat dari yang di rencanakan.""Tak apa. Sedikit bermain-main sepertinya akan menyenangkan."
..........
"Ada apa, Rayi?" Walangsungsang bertanya saat adik bungsunya telah membuka matanya yang sempat terpejam.
Kian Santang menatap semua saudara-saudarinya yang berada disana kecuali Surosowan secara bergantian,
"Ini di luar rencana."Dengan empat kata ini saja, mereka sudah dapat mencerna ucapan Kian Santang dengan cepat.
"Lalu apa rencanamu selanjutnya, Raka?"
Kian Santang menatap Surawisesa dengan lekat, "Aku akan pergi ke sana."
KAMU SEDANG MEMBACA
Raden Kian Santang -Two Lives-
Historical FictionDua sudut kehidupan yang berbeda, menunjukkan bagaimana mereka menyikapi masalah yang hadir di kehidupan masing-masing. Terkadang, ada kala dimana pikiran selalu menggiring untuk berhenti. Namun hati kecil dalam diri selalu menolak dan terus meyaki...