Nampak seorang remaja mengenakan baju seperti rakyat biasa dengan sebuah selendang berisi pakaiannya, tengah berjalan melewati pedesaan yang ramai akan penduduk.
Netra indahnya melihat ke seluruh desa dengan senyum manis yang merekah di bibirnya, membuat kelopak matanya menyipit.
"Alhamdulillah, Ya Allah. Aku telah tiba di tanah pasundan. Rindu rasanya menghabiskan waktu bersama mereka." Monolognya sesekali membalas sapaan dari beberapa penduduk yang melewatinya.
Remaja itu kembali melanjutkan perjalanannya dengan kedua tangan yang dia taruh di belakang tubuh, setelah merasa puas memandangi aktivitas para penduduk.
Perasaan rindu begitu mendominasi hatinya, tak sabar bertemu dengan keluarga yang sudah dia rindukan.
..........
"Rayi Prabu."
Pangeran yang beberapa tahun belakangan ini sudah mengemban tugas menjadi seorang Raja itu menoleh ke arah belakang, ketika indra pendengarnya mendengar suara yang tak asing baginya.
"Raka Walangsungsang."
Putra sulung dari Prabu Siliwangi dan Ratu Subang Larang itu memberikan hormat serta senyum manis padanya. Dia berjalan mendekati sang adik yang berdiri bersama dengan senopati kerajaan Pajajaran.
"Ada apa Raka?" Walangsungsang menatap wajah adik tirinya dengan seksama, dia menangkap adanya raut tak tenang dari wajah adiknya-- Surawisesa.
"Tidak ada Rayi. Aku hanya ingin mengajakmu untuk berkeliling istana Pajajaran, karena sejak tadi ku perhatikan kau sama sekali belum istirahat." Jawab Walangsungsang lembut.
Surawisesa nampak berpikir sejenak lalu melirik ke arah senopatinya, "Paman Anggapati, kau kembalilah ke wismamu. Kita bicarakan hal ini lain kali, aku akan pergi bersama Raka Walangsungsang."
Senopati pajajaran itu menunduk hormat,
"Sendika, Gusti Prabu.""Sampurasun."
"Rampes." Balas kedua putra Siliwangi itu kompak. Setelah mendapat balasan, senopati Pajajaran itu mulai melangkah meninggalkan keduanya.
"Mari Rayi Prabu." Walangsungsang menggeser tubuhnya, memberi jalan pada Raja Pajajaran itu untuk berjalan terlebih dahulu.
"Mari Raka." Tak mengindahkan gerakan sang kakak, Surawisesa justru berjalan disamping Walangsungsang. Membuat putra sulung dari Subang Larang itu tersenyum tipis.
"Rayi Prabu, semakin hari nampaknya kau sangat mampu mengemban tanggung jawab yang diberikan oleh ayahanda serta rakyat Pajajaran. Aku bangga padamu, Rayi." Ucap Walangsungsang di tengah langkah mereka.
"Raka tak usah berlebihan. Aku tak ada apa-apanya tanpa kalian. Pajajaran takkan bisa berdiri tegap tanpa adanya campur tangan kalian. Jadi, tak usah menyanjungku seperti itu. Karena pada nyatanya, aku tak sehebat yang Raka pikirkan." Bantah Surawisesa yang tak setuju dengan pendapat Walangsungsang.
"Tapi Rayi, apa yang ku katakan adalah benar. Jika aku yang berada di posisimu, belum tentu aku dapat menjalankan semuanya dengan baik." Surawisesa tersenyum simpul.
"Sudahlah Raka, berhenti memujiku."
"Raka, kapan Raka Kian Santang akan kembali? Sudah 3 tahun dia mengembara tapi sampai saat ini, Raka Kian Santang belum juga kembali." Tiba-tiba Surawisesa menghentikan langkahnya membuat Walangsungsang juga ikut berhenti.
Putra sulung Subang Larang itu terdiam sejenak kemudian menatap sang adik dengan pandangan lembut, "Entahlah. Rayi Kian Santang belum mengirimkan pesan apapun jika dia akan kembali dari pengembaraannya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Raden Kian Santang -Two Lives-
Fiksi SejarahDua sudut kehidupan yang berbeda, menunjukkan bagaimana mereka menyikapi masalah yang hadir di kehidupan masing-masing. Terkadang, ada kala dimana pikiran selalu menggiring untuk berhenti. Namun hati kecil dalam diri selalu menolak dan terus meyaki...