———
Bahkan saat pertama kali menginjakkan kaki di fakultas kedokteran, Clara tak segugup ini. Tapi kenapa sekarang hanya dengan berkendara menuju bandara saja dia sudah deg-degan setengah mati?
Mungkin bagi orang awam, dia akan ditertawakan. Apalagi dari ia belum bisa berjalan saja, Clara sudah sering keliling negara dengan pesawat. Bandara sudah bukan tempat yang asing untuknya.
Tapi sejak beberapa tahun yang lalu, Clara sepenuhnya membenci apapun yang berhubungan dengan pesawat. Tempat ini memberinya kenangan buruk. Ia kehilangan Mama di sini. Mama yang pamit ke Jepang untuk bertemu keluarga, malah dikabarkan mengalami kecelakaan dalam pesawat yang membawanya. Dan janji untuk dibelikan oleh-oleh boneka tak pernah terpenuhi hingga hari ini.
Lalu ditambah tujuannya kemari adalah untuk menjemput Ezra, bagaimana mungkin ia masih bisa bersikap baik-baik saja? Untuk pertama kalinya dia akan melihat laki-laki itu sebagai manusia.
Selama perjalanan, benaknya sudah sibuk merangkai bagusnya topik apa yang akan ia pakai untuk percakapan pertama. Tanya kabar? Itu sudah sangat umum. Sementara ia ingin percakapan yang tak akan bisa dilupakan.
"Clara? Kamu gak apa-apa?" Lamunannya buyar dan topik-topik yang telah ia rangkai berterbangan ketika suara seseorang berikut sentuhan lembutnya di bahu terasa indera Clara. Matanya bergulir cepat, tetapi terdiam ketika menemukan raut khawatir Mia tepat di pintu mobil yang telah terbuka.
"Apa kepalanya pusing?" Mungkin karena putrinya tak lekas menjawab, ia akhirnya menebak sendiri. Namun, Clara malah menggeleng.
"Nggak, T—Ma. Aku baik-baik aja."
"Kalau kurang sehat kamu menunggu di sini aja, saya khawatir."
"Aku sehat kok."
"Kalian ngapain?" Di pintu kiri, David merunduk setelah menurunkan jendela. "Mi, ayo cepat. Pesawatnya udah landing pasti. Clara, ayo kamu juga keluar."
Benar saja, baru sampai di depan terminal, sosok tinggi Jonathan langsung terlihat menarik satu koper kecil. Tangannya melambai di kejauhan.
Tapi... di mana Ezra?
Tanpa sadar Clara celingukan mencari sosok yang ia tunggu-tunggu. Di sisi kiri-kanan Jo, tidak ada. Di belakang, juga tidak kelihatan.
"Mana Ezra, Jo?" Nasib baik pertanyaannya diwakilkan sang ayah. Clara hanya tinggal menunggu jawaban saja. Namun pria yang mengenakan jas formal itu hanya menunjuk ke belakang, padahal di sana tidak hanya satu orang. Entah dia menunjuk yang mana.
Oh, bukan salah satu dari mereka. Melainkan seseorang yang baru berjalan melewati pintu terminal. Seorang pria yang menutup hampir seluruh bagian tubuhnya. Topi, jaket, masker, dipadukan dengan celana panjang. Bahkan tanpa melihat wajah pun, aura tampannya sudah menguar dengan tegas.
KAMU SEDANG MEMBACA
After The Cure: So It Can Be a Page | Mark Lee ✓
General Fiction[THE CURE SEASON 2. SEBAIKNYA BACA BOOK THE CURE TERLEBIH DULU] "When I met him again after 10 years, it wasn't just a coincidence. Because there is no such thing coincidence in this world. All have invisible threads. Which are interconnected, one a...