———
Tiga hari berlalu sejak Diego dengan penuh keberanian mengakhiri hubungannya dengan Clara. Tiga hari yang terasa hampa, sebab ia sudah tak lagi menerima pesan maupun panggilan dari gadis itu. Tiga hari yang membuat laki-laki itu melampiaskan kesedihannya dengan fokus pada skripsi.
Ternyata baru tiga hari, tapi hari-hari Diego sudah sekosong itu. Hubungan mereka baru berjalan dua bulan, namun ia mengenal Clara lebih lama dari itu, dan Diego tak menyangkal jika ia terlalu terbiasa dengan Clara. Gadis itu sangat perhatian pada hal-hal kecil tentang dirinya, sesuatu yang ia cari selama ini.
Tapi nasi sudah menjadi bubur. Dia sudah bertekad tidak akan menjadi penghalang untuk cinta antara Clara dan Ezra, yang walaupun belum benar-benar bersatu, tetapi ia telah merasakan ikatan tak kasat mata itu sudah hadir sejak lama. Maka selepas menyelesaikan berkas untuk sidangnya, begitu menginjak halaman fakultas kedokteran, satu tangan pria itu terlihat sibuk mengotak-atik ponsel.
"Dri," sembari berjalan menuju mobilnya, dia memanggil Hadrian lewat panggilan telepon. "Lo di mana? Gue pengen ketemu bentar. Gue ke kafe lo, oke? Gak pa-pa, ada yang mau gue bicarain sama lo."
***
Hadrian: ketemuan yuk? malem ini sekalian dinner
Hadrian: gue tunggu lo di restoran
Hadrian: sekalian gue mau ngaku sesuatuAneh sekali Hadrian tiba-tiba mengiriminya pesan seperti itu. Apalagi di pesan terakhir, yang mengatakan dia akan mengakui sesuatu. Tapi walau cukup aneh, Ezra tak menaruh curiga sama sekali. Hadrian susah ditebak, bertahun-tahun mengenalnya ia masih kebingungan dengan sikap sahabatnya itu yang saat bercanda dan serius, sama sekali tidak ada bedanya.
Jadi menjelang pukul 8, motornya melaju mengikuti arahan google maps menuju lokasi yang telah dikirimkan Hadrian sebelumnya. Begitu tiba, ia dibuat cukup terkesima dengan suasana yang tersaji di depannya. Namun belum sempat Ezra menggenapkan langkah menjadi dua, seseorang mendatanginya.
"Permisi, Mas Ezra?"
Kontan saja langkahnya urung dan ia menatap sang waitress dengan bingung. "Iya?"
"Mari ikuti saya, Mas Hadrian di ruang VIP."
"Hah?"
Walau riak wajahnya berubah kebingungan, laki-laki itu tetap melangkah mengikuti ke mana pelayan wanita itu pergi. Sampai tiba di depan pintu bertuliskan VIP room, Ezra masih bergeming. Otaknya sibuk berpikir kenapa Hadrian sampai harus mereservasi ruangan VIP hanya untuk makan malam biasa. Atau karena pengakuan yang tidak ia tahu konteksnya apa jadi makan malam kali ini tidak biasa?
"Silakan di dalam, Mas." Wanita itu langsung pergi setelah menyampaikan kalimatnya, meninggalkan Ezra yang kebingungan. Namun kemudian ia akhirnya memutuskan membuka pintu dan masuk, hanya untuk terdiam di permukaan pintu sebab menemukan Clara tengah duduk sendirian di dalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
After The Cure: So It Can Be a Page | Mark Lee ✓
General Fiction[THE CURE SEASON 2. SEBAIKNYA BACA BOOK THE CURE TERLEBIH DULU] "When I met him again after 10 years, it wasn't just a coincidence. Because there is no such thing coincidence in this world. All have invisible threads. Which are interconnected, one a...