———
Malam minggu ini, Clara sudah niatkan untuk pergi jalan-jalan bersama Ezra. Movie date terdengar menyenangkan, ia meminta itu pada si pria dan dia langsung menyetujuinya. Rencananya memang malam minggu ini, sebab lusa sudah akan memasuki tahun ajaran baru, yang artinya mereka akan kembali pada aktivitas masing-masing.
Jam 8 tepat, ia melangkah keluar dari kamar setelah menyambar tas selempang yang menggantung di pintu. Berjalan menuruni tangga dengan langkah riang. Namun baru menapak di lantai dasar, ekspresi cerianya seketika menguap ketika mendengar tangisan bayi di kejauhan.
Bukan, bukan makhluk halus. Itu adalah adiknya yang baru lahir 3 minggu yang lalu.
Oh, dia masih belum terbiasa dengan kehadiran si adik bayi.
Awal Mei kemarin, Mama akhirnya melahirkan, jauh dari perkiraan yang harusnya minggu kedua bulan April. Entah apa yang salah, Clara juga tak terlalu paham. Tapi untungnya adik bayi lahir dengan selamat, berjenis kelamin laki-laki dan lebih banyak menurunkan rupa Mia ketimbang David. Anak kedua Papa yang kini menyandang nama Keenan Aligara Mueller.
"Mau ke mana, Cla?" Dari arah dapur, Mama datang dengan Keenan dalam gendongan.
Gerakan Clara selanjutnya lebih seperti gerak refleks. Gadis itu mendekat, lalu mengelus pipi si bayi sekilas. "Ada urusan bentar," Karena sungguh, sampai hari ini Clara masih malu untuk mengaku berkencan dengan Ezra.
"Papa belum pulang?" Akhirnya ia mengalihkan topik agar mamanya tak bertanya lebih lanjut.
"Belum, katanya bakal lembur sampai jam sembilan." Saat melihat putrinya mengangguk, ia meneruskan. "Urusannya penting, ya?"
Mendengarnya, firasat Clara mulai tidak enak. "Hng... kenapa emang, Ma?"
"Tadinya Mama mau minta tolong kamu jagain Keenan sebentar. Mama mau beresin kamar dulu, belum sempat diberesin dari pagi."
"Hah? J-jagain gimana?"
"Jagain biasa aja, mumpung dia lagi bangun. Jangan sampai nangis tapi." Mama sudah berancang-ancang hendak memindahkan Keenan padanya, tapi Clara dengan cepat menolak. Kakinya melangkah mundur, membuat sedikit jarak dengan sang ibu.
"Ma, aku belum bisa gendong dia," peringatnya, siapa tahu Mama lupa bahwa ia belum belajar cara menggendong bayi. Bahkan pada hari saat Keenan lahir, ia menolak menyentuhnya karena takut melukai sang adik.
"Kamu bisa, ayo dong harus berani." Mamanya yang keras kepala—atau justru pemaksa—membuat Clara hanya bisa pasrah. Akhirnya terduduk di sofa dengan kaku, sementara dalam pelukannya, Keenan memandang dengan polos.
"Ma..." Kesempatan terakhir untuk bernegosiasi, Clara memasang wajah memelas, berharap dia bisa keluar dari situasi yang mencekik ini.
"Udah bener kok. Kalau nangis ditenangin aja dulu, soalnya baru dikasih ASI."
KAMU SEDANG MEMBACA
After The Cure: So It Can Be a Page | Mark Lee ✓
Ficción General[THE CURE SEASON 2. SEBAIKNYA BACA BOOK THE CURE TERLEBIH DULU] "When I met him again after 10 years, it wasn't just a coincidence. Because there is no such thing coincidence in this world. All have invisible threads. Which are interconnected, one a...