---
Seumur-umur, Clara tak pernah berpikir dia akan memiliki kesempatan berkunjung ke tempat ini. Dengan nama besar ayahnya, dia jelas akan menghindari hal-hal yang bisa membuatnya berurusan dengan polisi. Tapi siang ini, ia akhirnya duduk di sini, hanya untuk mencari jawaban dari pertanyaan yang mengganggunya selama beberapa hari terakhir; bagaimana kehidupan Diego selama di sini?
Pasti sulit. Dan tentu butuh waktu untuk menyesuaikan diri. 2 minggu mungkin belum cukup, sebab dalam waktu sesingkat itu perubahan drastis langsung terlihat di diri Diego Restupati.
Tubuhnya lebih kurus dari terakhir kali, dengan wajah yang tidak sesegar biasanya. Pucat, dan jelas tak terurus. Saat melihatnya masuk dari pintu, Clara hampir menjerit tertahan saking tak percayanya.
Diego yang ia kenal sangat menjaga kerapihan dan kebersihan, kini harus mendekam di balik ruangan sempit dengan baju tahanan.
"Kak-" Dan walau sudah berusaha menguatkan diri, tetap saja Clara tak bisa menahan diri untuk tak menangis. Pacarnya terlihat menyedihkan. "Apa... kabar?"
Diego sendiri menarik napas panjang beberapa kali, menekan kuat-kuat keinginan untuk memeluk gadis yang telah ia rindukan selama 2 minggu ini karena sekat kaca di depannya jelas tidak bisa ia hancurkan.
"Seperti yang kamu lihat. Kamu sendiri?"
"Aku baik-baik aja."
"Aku menunggu kamu, Clara."
Baru beberapa menit yang lalu kepalanya disesaki berbagai kalimat tanya, tapi mendengar satu kalimat itu, semua hilang tak bersisa. Kepalanya tiba-tiba kosong dan ia tak tahu harus berpikir apa.
"Luka kamu... sudah sembuh?"
Benturan di kepalanya tidak terlalu parah, hanya membutuhkan beberapa jahitan yang untungnya sudah kering sejak tiga hari yang lalu. Jadi Clara mengangguk saja. "Udah. Kakak hidup dengan baik, kan?"
Di depannya, Diego mengukir senyum sumir. "Baik."
Untuk sesaat, Clara kehilangan kata-kata. Jawabannya berbanding terbalik dengan apa yang ia lihat. Diego jauh dari kata baik. "Mereka memperlakukan kamu dengan baik?"
"Ya, sebagian." Dia menghela napas melihat raut frustasi Clara. "Ezra gimana? Kamu tau perkembangannya?"
"Masih di Singapura. Tapi udah masa pemulihan, udah keluar rumah sakit kalau kata Papa."
"Kapan pulangnya?"
Clara menggeleng pelan. "Belum tau, Papa belum kasih tau."
Setelah itu ruangan sempat disekap senyap. Hening, bahkan polisi yang berjaga di sudut ruangan Diego ikut bungkam. Sampai kemudian Diego tiba-tiba berdeham dan itu praktis mematahkan keheningan di antara mereka.
"Sebelum ini... kamu pernah ketemu Mama Sania?"
"..."
"Aku kepikiran Mama."
Clara menghela napas pendek. "Kak, dia udah bikin kamu begini, dan kamu masih aja mikirin dia?"
"Dia ibuku, Clara."
"Dia nggak pantas disebut seorang ibu."
"Kamu pernah jenguk dia? Entah kenapa perasaanku gak enak terus 2 hari belakangan. Aku khawatir mama lagi nggak baik-baik aja."
"Nggak pernah, dan nggak akan pernah aku menjenguk dia."
"Clara-"
"Minggu depan sidang pertama, mungkin itu kali pertama aku ketemu dia setelah bikin kepalaku terluka."
"..."
Ketegangan di ruangan itu pecah ketika pintu di belakang Clara terbuka, David datang seorang diri. Diego menelisiknya, namun dari garis wajahnya yang mirip dengan Clara, dia menyimpulkan beliau adalah ayah si gadis. Pria yang sejak datang wajahnya sudah memancarkan ketidaksukaan. Entah pada ruangan ini, atau pada keputusan sang putri yang menjenguk pacarnya.
"Ayo pulang."
Hanya dengan begitu, Clara ditarik keluar tanpa pamit yang lebih layak. Diego tak sempat bicara, hanya mampu menatap punggung keduanya dengan satu hela napas panjang.
Tepat di depan kantor, Clara langsung menghentikan langkah. Otomatis langkah ayahnya juga berhenti. Pria itu menoleh ke belakang dengan alis bertaut bingung.
"Kenapa? Kamu lupa sesuatu?"
"Kenapa Papa nggak ngobrol sama Kak Diego tadi?" Melihat ayahnya terdiam, Clara akhirnya meneruskan. "Jangan ngobrol dulu, Papa bahkan nggak melihat ke dia. Dia masih pacarku, Pa."
"Putuskan dia."
"Apa?"
"Papa bilang putuskan dia. Kamu jangan berhubungan sama dia lagi."
"Kenapa?"
"Karena-"
"Dia dipenjara, kan? Pa, Kak Diego nggak bersalah. Semua kejahatan dilakuin Sania."
"Tetap ada catatan kriminal. Kamu nggak boleh berhubungan dengan orang yang memiliki catatan kriminal di hidupnya. Ingat siapa dirimu."
"Nggak mau."
"Clara."
"Mas, udah. Biarkan Clara menentukan keputusan untuk hidupnya sendiri." Dari belakangnya, Mia tiba-tiba menyela. Entah sejak kapan mendengarkan perdebatan keduanya. "Clara udah besar, dia pasti tau konsekuensi untuk keputusan yang dia ambil."
"Mi, dia boleh berhubungan dengan siapa saja, tapi nggak dengan orang yang punya catatan kriminal. Saya nggak setuju."
"Kita bicarakan di rumah, ya?" Sebab ia menyadari beberapa orang memperhatikannya.
Mia menggandeng Clara di sisi kanan begitu cekalan suaminya terlepas. Dalam perjalanan menuju mobil, dua perempuan itu memilih tak berbicara. Baru setelah ketiganya duduk di kursi masing-masing, ia kembali bersuara.
"Kamu ngerasa pusing gak hari ini?" tanyanya pada Clara yang duduk di belakang. Dari kaca kecil di tengah mobil, Clara tampak menggeleng pelan.
"Tadi aku dapat telepon dari Kak Jo, katanya mereka bakal pulang besok. Kita diminta jemput ke bandara."
"Mereka?"
"Kak Jo sama Ezra. Dia udah dibolehin pulang sama dokternya. Kamu juga ikut ya, Cla, Ezra pengen ketemu."
Clara membeku detik itu juga.
Apa itu artinya... Ezra akan hadir di persidangan?
---
Prologue unlocked 🔓
The Cure S2 finally released!!!
HAPPY BIRTHDAY MARK LEE
KAMU SEDANG MEMBACA
After The Cure: So It Can Be a Page | Mark Lee ✓
Fiction générale[THE CURE SEASON 2. SEBAIKNYA BACA BOOK THE CURE TERLEBIH DULU] "When I met him again after 10 years, it wasn't just a coincidence. Because there is no such thing coincidence in this world. All have invisible threads. Which are interconnected, one a...