[THE CURE SEASON 2. SEBAIKNYA BACA BOOK THE CURE TERLEBIH DULU]
"When I met him again after 10 years, it wasn't just a coincidence. Because there is no such thing coincidence in this world. All have invisible threads. Which are interconnected, one a...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
jadi part terpanjang sepanjang masa ~~ 3k words.
———
Hari ini, semuanya kembali membaik.
Memang belum sepenuhnya, tapi melihat Clara sudah mau diajak bicara saja Ezra sudah lega. Dan mungkin karena itu, dia bisa lancar-lancar saja saat menghadapi dua mata kuliah tersulit menurut kebanyakan temannya. Otaknya tiba-tiba mudah menyerap semua materi yang telah dipaparkan dosen.
Kelas terakhirnya sudah selesai sejak 15 menit yang lalu, namun sampai detik ini, Ezra belum juga beranjak dari kursinya. Walau kelas sudah lama kosong, ia terlihat masih betah duduk santai di kursi nomor 54 itu. Baru saat jam di tangannya menunjuk tepat di angkat empat, ia beranjak. Tadi Clara berangkat bersamanya, itu artinya dia tidak membawa kendaraan untuk pulang. Ia akan menggunakan alasan itu untuk mengajaknya pulang bersama.
Namun laki-laki itu harus menghentikan motornya di tengah jalan saat matanya tak sengaja menangkap kehadiran Clara jauh di depan sana. Gadis itu terlihat bercengkrama dengan seorang... pria? Bahkan kini naik ke atas motornya?!
Dua mata Ezra nyaris meloncat keluar saking lebarnya melotot. Beruntung tidak ada yang melihat ekspresinya karena dia masih menggunakan helm full face. Tapi laki-laki itu... siapa dia berani mendahuluinya? Satu-satunya pria asing yang berani mengajak pacarnya pulang hanya Hadrian, lalu dia siapa?
"Brengsek," umpatnya, tanpa sadar mencengkeram kuat setang motor. Ezra tak berpikir dua kali dan langsung melesatkan motornya saat melihat Clara pergi. Ia mengikutinya dengan jarak satu motor di depan. Rumah, ini jalan menuju rumah Clara.
Sampai motor itu berhenti di depan gerbang rumah sang pacar, ia sengaja memarkirkan motornya sedikit lebih jauh agar tidak tertangkap. Tapi itu membuatnya tak bisa mendengar percakapan keduanya di depan rumah. Entah bicara apa, tapi laki-laki yang tak ia ketahui namanya itu dengan berani menepuk-nepuk kepala Clara.
Ezra yang melihatnya praktis mendengus kesal, cepat-cepat memutarbalikkan motornya saat pria itu hendak berbalik juga. Melaju kencang tanpa sekalipun menengok lagi ke belakang.
Perasaannya... inikah rasanya cemburu?
***
Siapa dia? Bagaimana bisa Clara mengenalnya? Lalu seberapa dekat mereka hingga Clara mau diantar pulang olehnya? Entah kenapa Ezra tiba-tiba penasaran dengan eksistensi laki-laki tadi.
Apakah dia satu jurusan dengan sang pacar? Matanya menerawang udara, di kamarnya yang sepi, ia mulai memikirkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang bercabang di pikirannya.
Tapi dari semua itu, pertanyaan yang paling penting adalah, sejak kapan Clara mengenal dia? Gadis itu tak sekalipun bercerita punya teman laki-laki ketika bersamanya.
Satu helaan napasnya keluar, hanya sesaat setelah itu, perhatiannya tersita pada ponsel yang berdenting sekali. Benda itu tersimpan di sampingnya yang sedang duduk di ujung kasur, jadi tanpa dibawa pun, Ezra bisa melihat notifikasi yang masuk pada layar. Membacanya sesaat dan lagi-lagi, ia menarik napas panjang. Tanpa niat membalas, Ezra membawa langkahnya menuju kamar mandi.