———
Hal pertama yang Clara rasakan setelah melewati ruangan putih panjang adalah, aroma minyak angin yang memenuhi jalan udaranya. Rasanya hangat sekaligus menenangkan, hingga ia memutuskan untuk membuka matanya pelan-pelan. Untuk beberapa saat, Clara mengerjap bingung, sampai akhirnya tersadar bahwa langit-langit kamar yang ia pandangi adalah kamarnya sendiri. Dan ia sendirian di sini.
Menarik napas panjang, Clara kemudian menukar posisi menjadi duduk, pusing juga lama-lama berbaring. Saat itulah, pintu kamarnya dibuka dari luar.
"Oh? Kamu sudah bangun?" Mama datang dengan semangkuk buah. "Gimana perasaan kamu? Ada yang sakit?"
Clara menggeleng, padahal kepalanya sedikit nyeri. "Aku... gimana bisa..."
"Kamu pingsan di rumah Ezra, Diego yang nganterin tadi."
Pingsan, ya? Bibirnya membentuk garis lurus ketika sadar ia kembali dibawa ke alam lain. "Apa pemakamannya udah selesai?"
"Sepertinya sudah. Kamu kuat turun? Atau mau Mama ambilkan makan malam ke sini?"
Namun mendengar pertanyaan yang dituturkan, dahi Clara mengernyit. "Ini udah malam?"
"Jam delapan."
Dari matanya yang membulat, Clara jelas terkejut. Gadis itu praktis mendesah berat, artinya dia tidur selama setengah hari tadi?
"Mama ambilkan aja, ya? Kamu masih pucat banget, takut pingsan lagi."
Perempuan itu melenggang pergi, Clara sendiri menunggunya dengan sabar, karena jujur ia juga lapar sekarang. Bahkan sembari menunggu, ia mengunyah beberapa potong apel. Namun setelah diam hampir 4 menit, yang datang dari pintu justru bukan Mama, melainkan Ezra. Tampak tersenyum canggung saat melangkah masuk.
"Mama mana?"
"Di bawah. Gue udah izin kok," katanya, lantas mengeluarkan barang yang dia bawa dalam kantong plastik. "Gue bawa bubur, makan."
"..."
"Udah baikan? Maaf gue baru datang." Dia menarik wajah Clara untuk lebih dekat, menelisiknya dengan mata lelah. "Lo kecapekan... sampai pingsan."
"Enggak." Clara membantah, praktis membuat Ezra menaikkan alisnya. "Zra, tadi gue lihat Bapak di sana."
"Lihat Bapak—" Kalimatnya tak berlanjut, namun dari pupil matanya yang melebar, Clara tahu Ezra baru paham maksudnya. "Maksud lo, arwahnya?"
Clara mengangguk. "Di samping Om Jo."
"Terus?"
"Dia ngajak gue sampai gue pingsan. Kayak yang lo lakuin pas awal-awal kita ketemu."
"Apa yang Bapak bilang?"
Untuk ini, Clara diam beberapa lama. Bingung harus menceritakan bagian mana. "Banyak. Bapak cerita banyak."
KAMU SEDANG MEMBACA
After The Cure: So It Can Be a Page | Mark Lee ✓
General Fiction[THE CURE SEASON 2. SEBAIKNYA BACA BOOK THE CURE TERLEBIH DULU] "When I met him again after 10 years, it wasn't just a coincidence. Because there is no such thing coincidence in this world. All have invisible threads. Which are interconnected, one a...