———
Harusnya dia mengisi 4 kelas hari ini, tapi sehari itu Clara habiskan dengan berdiam diri di pojok perpustakaan. Apa yang terjadi membuatnya enggan bertemu orang-orang. Ini kebiasaannya sejak kecil, jika sedih, Clara akan mengasingkan diri sampai perasaanya membaik. Hari ini pun sama, perpustakaan yang sunyi sengaja ia pilih agar tidak ada yang mengganggunya.
Seharusnya ia menangis atas perpisahan yang baru ia ciptakan, tapi tidak. Clara menangis hanya saat pergi dari hadapan Ezra saja, sisanya ia habiskan dengan merenungi kembali keputusannya.
Menjelang jam 6 sore, kakinya melangkah keluar dengan pelan. Kepalanya sengaja ia tundukkan dalam-dalam agar tak ada yang melihat kondisi wajahnya. Namun itu tak berguna lagi ketika sesaat kemudian, seseorang menepuk bahunya pelan. Praktis Clara menoleh, membeku sebab menemukan seraut wajah milik Diego yang tersenyum lebar. Senyum yang perlahan memudar setelah melihat wajahnya.
"Kenapa?" Pria itu bertanya dengan kepala dimiringkan, matanya yang mirip kelinci menelisik wajahnya lekat-lekat. Clara tak suka ditatap begitu, itu membuatnya merasa gagal menyembunyikan perasaannya. Terbukti hanya beberapa saat ditatap begitu, dua mata Clara tiba-tiba memanas.
"Nggak apa-apa." Pada akhirnya ia menjawab begitu, walau berbanding terbalik dengan air matanya yang tidak bisa ia tahan. Cepat-cepat Clara seka agar tak menimbulkan rasa curiga.
Di depannya, Diego menghela napas. "Mau pulang bareng? Oh, atau sama Ezra?"
"Nggak, aku sendiri."
"Bareng aku, ya?"
Clara mengangguk saja, dia pun tak tahu akan pulang dengan apa karena mobilnya baru masuk bengkel kemarin. Tidak ada kecanggungan selama berjalan menuju halaman parkir, Clara bahkan tak menolak saat Diego meraih jemarinya. Tidak banyak yang bisa ia pikirkan saat kepalanya keruh seperti sekarang.
Tiba di samping mobil, saat Clara hendak masuk, sebuah motor tiba-tiba berhenti di dekatnya. Perhatian keduanya teralihkan detik itu juga. Diego yang pertama menyadari, karena motor itu telah sering ia lihat berada di dalam garasi.
"Ezra?" gumamnya pelan. Dan tebakannya benar. Begitu helmnya dilepas, wajah Ezra terlihat. Namun sebelum matanya bersitatap dengan Clara, perempuan itu telah masuk lebih dulu. Mengunci diri sendiri di dalam.
"Clara!" Pria itu turun dari motor, terlihat seperti orang bodoh karena berkali-kali ingin membuka pintu yang jelas-jelas terkunci. "Buka pintunya bentar, kita belum selesai bicara tadi."
Sementara tak jauh darinya, Diego mulai menangkap masalah seperti apa yang sedang menjerat dua sejoli ini. Dia tatap Ezra dan Clara bergantian, lagi-lagi menghela napas panjang.
"Clara—"
Satu tangannya cekatan mencekal Ezra sampai kalimat laki-laki itu berhenti. "Lo apain dia?"
KAMU SEDANG MEMBACA
After The Cure: So It Can Be a Page | Mark Lee ✓
General Fiction[THE CURE SEASON 2. SEBAIKNYA BACA BOOK THE CURE TERLEBIH DULU] "When I met him again after 10 years, it wasn't just a coincidence. Because there is no such thing coincidence in this world. All have invisible threads. Which are interconnected, one a...