[THE CURE SEASON 2. SEBAIKNYA BACA BOOK THE CURE TERLEBIH DULU]
"When I met him again after 10 years, it wasn't just a coincidence. Because there is no such thing coincidence in this world. All have invisible threads. Which are interconnected, one a...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
———
"Lama."
Hanya sesaat setelah mangkuk bubur yang ia bawa berpindah ke atas pangkuan Shafa, gadis itu mencebik dengan nada kesal. Ezra yang menjadi sasaran, kontan menghela napas.
"Tadi aku nelepon Clara dulu," akunya dengan jujur. Namun entah sadar atau tidak, tapi setelah nama Clara disebut, Shafa mendadak jadi pendiam. Gadis itu menelan suap demi suap bubur dengan cepat.
Untuk beberapa menit selanjutnya, kamar gadis itu diterpa hening yang panjang. Shafa masih dengan buburnya yang tersisa sedikit, sementara Ezra disibukkan dengan mengetik sesuatu dalam ponsel.
"Kakak lagi ngapain?" Merasa hawanya membosankan, Shafa akhirnya bertanya.
"Chat Clara, dia ngeyel terus nuduh aku ada apa-apa sama kamu."
"Kak Clara masih cemburu, ya?"
Kepalanya mengangguk tanpa sadar. "Hm, padahal aku udah bilang berkali-kali, kita nggak ada hubungan apapun selain kakak adik, emang dianya rada keras kepala," keluhnya, tak sadar sebab fokusnya terpaku pada ponsel dan roomchat dengan sang pacar.
"Ya udah, nggak usah dipermasalahin lagi. Biarin aja kayak gini, nanti juga Kak Clara sadar sendiri kalau sekarang susah dibilangin."
Sarannya yang aneh seketika menarik perhatian Ezra. Laki-laki itu mengangkat wajah sembari menyunggingkan senyum tipis. "Kamu benar," cetusnya, "Tapi kalau dibiarkan seperti katamu, salah paham ini bakal lebih besar. Nanti bukan cuma Clara, yang lain juga pada ikutan salah paham sama kita. Aku nggak mau itu terjadi."
"Kenapa?"
"Kenapa? Serius kamu tanya kenapa? Kamu cerdas, masa nggak tahu akhir dari kesalahpahaman ini bakal gimana?"
"..."
"Aku harap kamu nggak salah mengartikan bentuk perhatianku selama ini, Shafa."
Sesaat, kamar itu dipeluk keheningan. Kunyahan yang dilakukan Shafa pun melambat perlahan. Gadis itu seperti terhenyak dengan perkataan Ezra. Sampai kemudian lelaki itu membentuk senyum lebar, menepuk kepala si gadis sebanyak dua kali.
"Habiskan buburnya, aku mau ngerjain tugas di kamar. Kalau ada apa-apa, telepon aja, oke?"
Pria itu berlalu cepat-cepat, bahkan tanpa menunggu balasan atau reaksi seremeh anggukan dari Shafa.
***
Kalau dari awal Clara tahu cinta akan serumit ini, mungkin dulu ia akan mengutamakan pendidikan daripada repot-repot pacaran. Memang tidak terlambat, tapi lihatlah apa yang terjadi sekarang? Perasaannya tidak karuan hingga ia malas melakukan apa-apa.
Padahal ada tugas yang harus ia kerjakan malam ini. Tapi karena laptopnya juga tidak ada, rasa malasnya bertambah dua kali lipat. Bukannya beranjak dari tempat tidur, ia malah menenggelamkan wajah pada bantal yang empuk.