O4 | Saya mau memulai hidup tanpa rasa bersalah apa-apa

79 14 0
                                    

———

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

———

"Ceweknya Dri!"

Itu bukan panggilan asing, jadi wajar jika Clara refleks mendongak, praktis melepas tatap dari layar ponsel ke jalanan. Beberapa meter di depannya, sosok tinggi Juna dengan ransel di punggung terlihat berjalan mendekatinya.

"Hai, nunggu jemputan?" Pria itu basa-basi. Dan kepala Clara mengangguk tanpa sadar.

"Baru selesai pesan gocar," jawabnya, "by the way, nama gue Clara, Na."

"Hm... Clara, Clara, Clara. Kudu disimpen, nih, soalnya gue lupa mulu. Maafin ya." Dia terlihat kikuk untuk sesaat. "Lo kenapa gak pulang bareng cowok lo aja? Dia kayaknya udah selesai juga kelasnya."

Dulu Clara memilih diam karena berpikir masalah ia yang dikira pacar Hadrian oleh Juna tidak mungkin sampai sejauh ini. Tapi hari ini agaknya ia menyesali keputusannya kenapa tidak meluruskan kesalahpahaman itu sejak awal. Dia juga mana tahu bahwa Juna ternyata menganggap serius candaan Hadrian waktu itu. Oh, ayolah, pacarnya Diego. Apa laki-laki ini tidak tahu?

"Hei, haloo? Kok ngelamun?"

Dua matanya berkedip-kedip, Clara mengakhiri lamunannya dengan satu tarikan napas. "Juna, lo kenal Kak Diego gak?"

"Diego?"

"Kakak tingkat gue."

Ketika Clara mengira lelaki itu akan mengangguk atau menggeleng, dia justru menemukan Juna terkekeh. "Gue aja gak kenal semua yang seangkatan di jurusan gue, gimana sama fakultas lain."

"Lo ngampus cuma ngisi kelas doang?" Clara mendelik.

"Yap, soalnya gue kerja part-time jaga warnet, jadi gak ada waktu buat bikin relasi pertemanan." Dia berkata dengan ringan. "Tapi bukannya hidup bakal lebih tenang kalau kita nggak dikenal banyak orang?"

Dia benar. Untuk ini Clara mengangguk setuju. Sebab ia pernah hidup dalam popularitas semasa kecil. Dan sungguh, masa-masa itu adalah masa paling kelam dalam hidupnya karena ia tak mengenal apa itu kebebasan. Perhatian orang-orang mudah sekali berpusat padanya, sampai ia takut berinteraksi dengan banyak orang, sampai dia tidak memiliki teman selain Livia seorang.

"Itu gocar lo?"

Atensinya kembali difokuskan pada Juna, lekas mengikuti arah pandang pemuda itu yang menatap mobil hitam yang hendak memasuki halaman fakultas kedokteran.

"Mas, sini!" Clara melambai, memberi tanda bahwa ia sudah di luar. "Eh, gue pergi dulu, ya. Kapan-kapan gue ke tempat lo kalau ada waktu." Bahkan ia tak menunggu sahutan Juna, kakinya diajak berlari kecil dan masuk begitu saja ke kursi belakang.

"Jalan Haji Agus Salim, ya, Mas."

"Gue bukan driver."

Clara menoleh cepat, bingung dengan kalimat si driver namun suaranya terdengar tak asing. "Hah?"

After The Cure: So It Can Be a Page | Mark Lee ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang