17 | Should we end up like this?

56 12 25
                                    

p

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

p.s panjang ges, 2,7k :)

———

Double date, ya...

Memikirkannya, senyum Clara mengembang tanpa bisa dicegah. Mereka belum pernah melakukannya dan itu terdengar menyenangkan. Haruskah Clara menerima ajakan Livia yang satu ini? Karena ia memang belum memberikan jawaban tadi, seseorang menariknya tiba-tiba, membawanya masuk ke fakultas kedokteran sampai ia tak sempat memberi pamit yang layak pada ketiga temannya.

Kalau jadi, terus seandainya milih glamping... wah, seru kayaknya.

Otaknya mulai berangan-angan. Clara berakhir menutup wajah dengan bantal dan memekik tertahan saat bayangan double date yang romantis terangkai otaknya. Beberapa saat terdiam dengan posisi itu, Clara menurunkan bantal di wajahnya sedikit. Dua matanya terlihat berkedip-kedip. Mencari ponsel, lantas menggeser log panggilan di kontak Ezra.

"Hm?"

Hanya dua kali nada sambung hingga panggilannya diterima laki-laki itu, Clara menggigit bibir gugup. "Gue mau nanya soal double date yang dibilang Liv tadi. Gimana menurut lo?"

"Lo beneran serius nanggepin Liv?"

Semula, Clara berbaring di atas kasur, tapi mendengar itu, ia bangkit duduk. "Maksudnya?"

"Gue nggak ada waktu minggu-minggu sekarang. Jadi kayaknya nggak bisa."

Clara meremas bantal di pangkuannya, menelan ludah susah payah. "Sibuk banget, ya? Ngapain aja emang?"

"Kuliah, bantu Papa sama urus Shafa pastinya."

"Oh, yaudah." Bibir tipisnya mengulas senyum pahit seketika. Shafa lagi. "Kalau gitu gue bilang gak bisa aja ke Livia."

"Omong-omong cowok yang—"

Clara memutus panggilan tanpa menunggu Ezra menyelesaikan kalimatnya. Terserah, ia juga bisa kecewa. Mungkin sedikit menjauhi laki-laki itu adalah solusi paling bagus untuk saat ini. Di dekatnya, kesabaran Clara terus diuji.

Clara hanya tidak paham, bagaimana bisa Ezra setega itu menghancurkan harapannya?

***

Wajarkah jika ia marah?

Tolong katakan iya, karena walau keputusannya sudah bulat dan ini genap hari ketiga Clara menjauhi Ezra, perempuan itu masih sering dilanda rasa bersalah. Benar, hari ini terhitung hari ketiga ia mengabaikan eksistensi seorang Ezra Nugraha. Tak membalas pesan, sengaja menolak panggilan, menghindar saat Ezra mengajaknya keluar. Tiga hari yang berlalu secepat kedipan mata sebab Clara sengaja menyibukkan diri pada tugas-tugas kampus.

Tidak terlalu buruk, walau tiap malam ia harus mati-matian menahan tangis dan terus menyemangati diri dengan kata-kata positif bahwa Ezra bisa sadar suatu hari nanti.

After The Cure: So It Can Be a Page | Mark Lee ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang