1O | I will try to be the version of the boyfriend you want

74 13 7
                                    

———

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

———

Pantai Ancol cukup ramai sore itu, setelah berjalan beberapa lama, mereka akhirnya menemukan titik yang lebih sepi dari pengunjung. Ketika menatap jam digital di tangannya dan angka yang tertulis sudah hampir mencapai angka lima, Ezra menarik senyum tipis.

"Duduk sini aja," ujarnya, menarik Clara untuk duduk di atas pasir. Keheningan meraja karena mereka memilih menatap perpaduan air pantai yang biru dan langit yang berwarna jingga kemerah-merahan daripada mengobrol random. Anehnya, keheningan ini justru tak membuat canggung.

"Kombinasi yang pas, kan?" Akhirnya setelah sekian menit bungkam, Ezra bertanya, lekas menoleh karena tak mendapat jawaban. "Clara? Lo gak pa-pa?"

"Zra," bibirnya sudah bergerak, tapi karena masih ragu, akhirnya ia hanya mengembuskan napas seraya menggeleng pelan. "Gak jadi."

"Ada apa?"

Sekali lagi ia menggeleng. "Enggak. Lupain aja."

"Gue ini pacar lo, lo gak mau belajar jujur sama gue?"

"Tapi kalau gue tanyain, nanti lo merasa tersinggung." Wajahnya menunduk, menolak menatap Ezra secara langsung. Tapi satu tangan lelaki itu langsung terulur agar Clara mengangkat wajah.

"Ada apa, hm?" tanyanya dengan lembut. "Cerita aja, coba komunikasikan apa yang lo mau dari gue, gue gak akan tersinggung kalau itu mengarah ke hal baik."

Sepasang netra Ezra menyorot lembut. Entah kenapa menemukan itu dadanya langsung dialiri ketenangan, bahkan percaya dengan yang laki-laki itu katakan. Jadi setelah menelan ludah, Clara menggumam pelan. "Lo, tuh... sebenernya serius gak sih sama gue?"

Sempat terdiam, di luar dugaannya Ezra justru terkekeh. "Itu doang? Jelas gue serius. Kenapa lo ragu?"

"Terus kenapa lo nggak balas pernyataan gue di mal tadi?"

"Di mal? Yang mana—oh, itu." Ezra tertawa geli, terus mendorong dirinya hingga berbaring di atas pasir, dengan kepala bertumpu pada lengan sebagai bantal. "Sini tiduran, gue pengen cerita sesuatu."

Di sampingnya, Clara mengangguk tanpa pikir panjang. Lalu ikut merebahkan diri dan sebelum kepalanya menyentuh pasir, satu lengan Ezra menahannya. Praktis, ia menoleh pada si pria, tertegun karena jarak ini terlalu dekat untuknya.

"Kenapa gue belum pernah ngomong gue sayang sama lo secara langsung itu bukan karena gue gak serius, gue sebenernya... bingung. Ini beneran kali pertama gue macarin cewek. Sebelumnya gue bahkan gak deket satu cewek pun di sekolah. Gue terlalu sibuk, dan satu-satunya yang deket sama gue cuma papa. Temen pun Hadrian doang, cowok pula. Miris, kan?" Entah dia menertawakan dirinya sendiri atau apa, tapi melihatnya tertawa begitu, Clara menarik sudut bibirnya tipis-tipis.

"Buat ngungkapin perasaan sayang ke seseorang, gue gak pernah secara frontal ngomong gue sayang dia, tapi gue selalu pakai tindakan dan gue terbiasa begitu sampai sekarang." Dia menarik napas sebagai jeda, tak tahu bahwa selama ia bercerita, Clara memusatkan atensi padanya. "Love language gue act of service. Tapi kalau lo mau gue ngomong cinta setiap hari, gue bakal belajar. I will try to be the version of the boyfriend you want."

"Bahasa lo udah kayak penulis aja."

"Eh, dulu waktu SMP gue sempat punya cita-cita pengen jadi penulis kayak Tere Liye tau."

"Terus kenapa malah masuk teknik, Mas?"

"Buat papa. Gue terlahir buat jadi penerus papa."

Clara dibuat speechless untuk beberapa saat, sampai kemudian Ezra tiba-tiba bangun. Berjongkok lalu mengulurkan tangan ke arahnya, "mau main di pantai?"

Ajakan itu diterima Clara dengan senyum lebar. Ia bangkit dengan bantuan Ezra. Awalnya, mereka berjalan berdampingan, bahkan bergandengan tangan menuju bibir pantai. Tapi di tengah jalan Clara tiba-tiba melepas tautannya dan berlari sendirian mendekati ombak yang segera datang. Panik, Ezra praktis berlari. Namun dengan cepat mundur saat dia justru mendapat cipratan air dari Clara. Dan gadis itu yang langsung berlari menghindarinya membuat ia sadar, pacarnya sedang ingin main-main. Baik, akan ia turuti apa kemauannya.

Bak adegan dalam film, keduanya berlarian pada jarak yang lumayan jauh. Tapi mau sejauh apapun, Ezra yang langkahnya lebih lebar mampu menyusul langkah Clara. Satu tangannya sudah nyaris menggapai lengan gadis itu, namun urung dan ia justru memelankan gerak kakinya sendiri, membiarkan Clara kembali menjauhinya.

Bukan tanpa alasan, dia baru tersadar jika Clara dan senja adalah perpaduan yang benar-benar indah. Perempuan itu masih berlarian sambil sesekali mengejeknya, berteriak bahwa ia payah jika menyerah secepat itu. Terserah, Ezra tak peduli mau dia berkata apa. Sekarang tujuannya adalah mengabadikan momen ini. Tangannya mengeluarkan ponsel, memotret Clara sebagai objek utama, dengan senja sebagai latarnya dalam banyak gaya yang anehnya, indah semua.

Pria itu sedang memilih foto yang cocok untuk lockscreen ponselnya ketika Clara menghampiri dengan napas tersengal. "Kenapa malah main hape, sih?"

Pria itu menoleh sejenak. "Udah kenyang mainnya?"

"Capek... haus..." Satu tangannya meremas baju Ezra, menjadikannya pegangan karena kakinya lemas. "Lagi ngapain sama hape?"

"Duduk, pilihin gue foto yang bagus buat lockscreen," katanya, kemudian berlari meninggalkan Clara tanpa pamit yang jelas. Clara menurut, walau sempat bingung, tapi kemudian ia berpikir laki-laki itu mungkin sedang mencari kamar mandi. Jadi ia menuntaskan tugas yang Ezra beri, memilih foto yang ternyata dirinya untuk dijadikan lockscreen ponsel Ezra.

Sekitar lima menit duduk menunggu, Ezra akhirnya kembali. Tadinya, Clara ingin mengomel karena dia begitu lama di kamar mandi, tapi berakhir terdiam kala laki-laki itu memberinya botol air yang segelnya sudah terbuka. "Nih, minum dulu."

"Makasih."

Sore menjelang malam, Ezra memilih duduk di samping si gadis. Baju keduanya sudah tak serapi tadi, ujung celana sama-sama basah dan sedikit kotor, kaki bahkan sudah terbalut pasir, bukan sepatu lagi. Tapi baik Ezra maupun Clara, tak ada yang mempermasalahkan itu. Sampai langit benar-benar gelap, posisi mereka tak berubah.

"Oh, wait." Tiba-tiba si pria bersuara, praktis menarik atensi Clara. "Gue beli ini pas di Singapura. Memang buat lo, tadinya mau langsung dikasih pas ketemu, sebagai ucapan terimakasih buat bantuan lo selama gue kehilangan tubuh gue. Tapi karena gue sempat mengira lo lupa, jadi gue simpan dulu. Sekarang gue jadiin ini sebagai hadiah ulang tahun lo." Kalung yang jujur memiliki desain sederhana, tapi Clara sungguh ingin menangis saking terharunya. Kalung kupu-kupu yang indah.

"Happy birthday." Tepat saat kalung sempurna ia pakai, saat itu juga Clara menumpukan dahi pada bahu si pria, dan walau ditahan pun, isakannya tetap terdengar samar.

"Lah, malah nangis. Gue telat banget, ya? Maaf, kemarin papa ngajak ke Solo dan gue gak bisa nolak."

Tapi gadis itu menggeleng, lantas mengangkat wajahnya sembari menyeka ujung mata. "Bukan itu, gue tuh terharu tau. Ini bagus banget. Makasih, ya."

Tertawa jadi reaksi yang Ezra keluarkan. Masih dengan posisi yang sama, lelaki itu kemudian menyandarkan kepala Clara agar bersandar di bahunya. Sembari menatap bulan sabit yang terang malam itu, ia berdoa dalam hati.

"God, you know I love this girl so much. Please don't create a separation scenario between us."

———

Part 1O unlocked 🔓

ini tuh tadinya satu chapter sama part 9, tapi karena kepanjangan, aku pikir mending dibagi 2 aja, biar kalian yang bacanya gak gumoh wkwk

see you in next chapter >.<

After The Cure: So It Can Be a Page | Mark Lee ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang