———
Setelah satu malam mengikuti prosedur pemulangan, pagi tadi jenazah Bapak tiba di rumah keluarga Ezra. Itu putusan Papa, padahal sebelumnya Ezra sudah berdiskusi akan mengurus semuanya di rumah lama Bapak.
"Tidak, pulangkan ke rumah kita. Pak Ahmad sudah sangat berjasa, ini sebagai bentuk penghormatan terakhir dari Papa untuknya."
Begitu katanya, ketika ia baru bisa datang di tengah malam bersama Sania.
Sejak sampai juga, Shafa langsung mengurung diri di kamar. Tak sekalipun keluar bahkan sampai jam menunjukkan pukul 11 siang. Semua orang berusaha membujuknya, tapi belum ada yang berhasil membuat gadis itu keluar untuk sekadar menunjukkan muka.
"Masih belum?"
Ezra yang baru menaiki tangga lekas bertanya pada Clara dan Sania yang masih setia berdiri di depan pintu kamar Shafa. Keduanya kompak menggeleng, mulai menyerah.
"Mama takut dia bertindak yang aneh-aneh, Zra. Nggak ada suaranya."
Mama sudah khawatir, terlihat jelas dari wajahnya yang mengguratkan kecemasan. Sementara Ezra, ia menarik napas, kepalanya lumayan pusing karena ia tak tidur semalaman, sekarang ia harus menghadapi sifat keras kepalanya Shafa.
Untuk beberapa saat, ia memandangi pintu yang masih tertutup rapat. Sampai kemudian, kepalanya mengangguk pada Mama. "Mama istirahat aja, Mama nggak boleh banyak pikiran. Clara, tolong bantuin Bang Diego di bawah."
"Terus, Shafa?"
"Biar gue yang urus."
***
Bapak bukan meninggal karena kecelakaan, tapi bapak sudah mengalami serangan jantung saat mengemudi, sampai berakhir ditabrak bus yang datang di perempatan.
Itu dugaan dari dokter, tapi aku rasa itu benar karena beberapa saksi bilang mobil Bapak memang menerobos lampu merah.
Di tengah suasana kamar yang remang, dua kalimat Reyhan terus berputar-putar di otaknya. Itu memang masuk akal, setelah ia melihat sendiri rekaman CCTV yang menunjukkan bahwa mobil hitam Bapak memang menerobos lampu merah. Tapi entah kenapa, otaknya seolah menolak praduga itu.
Penyakit jantung bukan penyakit yang datang secara mendadak. Bapak baik-baik aja selama ini. Tadi pagi bapak bahkan masih sehat, gimana bisa bapak tiba-tiba kena serangan jantung?
"Shafa? Nak, kamu baik-baik aja, kan?"
Shafa tahu sejak pagi, beberapa orang bergantian menunggu di depan pintu kamar untuk membujuknya agar keluar. Namun bukannya menurut, ia memilih semakin merapatkan selimut. Berusaha tuli karena ia tidak mau berada di sana. Tidak karena itu pasti bukan Bapak.
KAMU SEDANG MEMBACA
After The Cure: So It Can Be a Page | Mark Lee ✓
General Fiction[THE CURE SEASON 2. SEBAIKNYA BACA BOOK THE CURE TERLEBIH DULU] "When I met him again after 10 years, it wasn't just a coincidence. Because there is no such thing coincidence in this world. All have invisible threads. Which are interconnected, one a...