———
Ini masih pukul enam, tapi Clara sudah siap dengan setelan kampus dan riasan yang sederhana. Untuk hari ini, dia sengaja memilih tampilan feminim dengan rok midi dan kemeja pink. Dia juga sengaja siap satu jam lebih awal karena hapal betul kebiasaan Ezra yang suka datang tiba-tiba. Tapi bahkan setelah setengah jam menunggu, belum ada tanda-tanda kehadiran cowok itu.
Dari atas balkon begini, aktivitas di halaman bisa terlihat dengan jelas. Namun sampai pukul 6.45, belum ada motor maupun mobil yang datang ke halaman. Hanya beberapa yang melintas di depan saja. Setiap ada mobil hitam yang datang, Clara selalu praktis berdiri, tapi kembali duduk dengan satu helaan napas ketika kendaraan itu hanya lewat di depan rumah, tidak masuk ke halaman.
"Dia ke mana, sih?" Clara menggerutu, pasalnya hanya tinggal sepuluh menit sebelum kelasnya dimulai. "Apa gue telepon aja?" Namun dengan cepat ia menggeleng keras. "Nggak, dia bukan cowok yang suka ingkar janji. Mungkin masih di jalan."
Lima menit terakhir, pesan-pesan bermunculan dari beberapa teman sekelasnya. Bertanya keberadaannya, Clara hanya menjawab singkat dengan dua kata; bentar lagi.
Lalu di tiga menit terakhir, akhirnya ia memberanikan diri menghubungi laki-laki itu, membuang semua pikiran positifnya karena dia sudah benar-benar keterlaluan.
"Lo di mana?"
Jawaban yang datang cukup membuat Clara naik pitam. "Di sekolah Shafa, kenapa?"
Praktis saja ia berdiri dari duduknya. "Lo lupa janji lo?!"
"Janji apa?" Clara sudah siap menjelaskan, tapi pria itu memekik tiba-tiba. "Astaga—maaf, ya ampun, gue beneran lupa! Sumpah, Cla!"
Mood Clara turun seketika. Melayani Ezra lagi ia sudah tidak minat. Tapi sebelum ia benar-benar mematikan panggilan, Ezra berkata lagi dari seberang.
"Gue ngebut ke rumah lo—"
"Gak usah. Makasih."
Kini ia benar-benar mengakhiri panggilan. Jam tujuh tepat, kelasnya pasti sudah dimulai. Mau nekat ke kampus sendiri, mungkin akhirnya dia kena hukum karena terlambat. Tapi melewatkannya akan sangat menyesal karena itu sangat penting.
"Kenapa sih lo harus lupa?!!" Pada akhirnya ia berteriak sebagai cara untuk mengeluarkan kekesalan. Meremas udara seolah itu adalah wajah Shafa. "Semua gara-gara Shafa!"
***
Mata kuliah pertama berakhir ia lewatkan. Pilihan pertama tidak efektif karena jarak rumah ini ke kampus cukup jauh, bahkan menghabiskan waktu 20 menit walau dengan kendaraan. Berbeda dengan kos-nya dulu yang bisa ditempuh hanya dalam waktu lima menit.
Hari itu Clara memiliki tiga kelas, dan kelas kedua dimulai pukul 10 pagi. Dari jam 9 ia sengaja sampai di kampus. Menghabiskan waktu di perpustakaan niatnya untuk belajar, tapi yang ia lakukan hanya melamun sendirian. Sampai pukul 12 siang, ketika kakinya melangkah keluar dari ruangan bernomor 07, wajahnya masih sekusut pagi tadi. Selama 6 jam terakhir, tak ada yang bisa mengembalikan mood-nya. Bahkan mungkin selama kelas tadi dia kembali mendapat gelar antisosial karena tak sekalipun menanggapi perkataan dosen dan teman kelasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
After The Cure: So It Can Be a Page | Mark Lee ✓
General Fiction[THE CURE SEASON 2. SEBAIKNYA BACA BOOK THE CURE TERLEBIH DULU] "When I met him again after 10 years, it wasn't just a coincidence. Because there is no such thing coincidence in this world. All have invisible threads. Which are interconnected, one a...