Dua

539 49 0
                                    

"Aku tidak ada jam kuliah, kak."

"Kalau begitu, aku minta tolong untuk menjemput Sam nanti."

Marcell mengangguk. Jun tersenyum dan pergi tanpa membawa kendaraan pribadinya sama sekali. Seperti biasa, ia bekerja shift pagi hingga menjelang sore yang tentunya rekan-rekan kerjanya tidak mengetahui bahwa Jun adalah sosok berada yang menyamar sebagai orang biasa. Karena keputusannya itu pula, ia tidak melanjutkan kuliahnya dan memberikan ruang bagi kelima adiknya untuk menduduki bangku kuliah.

Baru saja keluar dari halaman rumahnya, sebuah mobil berhenti tepat disisinya, menarik perhatiannya sesaat. Kaca mobil turun, menampakkan sosok adiknya yang berpenampilan rapi layaknya mahasiswa yang akan berangkat menuju kampusnya.

"Naiklah!"

David ingin memberikan tumpangan untuk kakaknya, ia berbicara tanpa menoleh sedikitpun. Pandangan tetap lurus melihat jalanan.

"Aku bisa menggunakan kendaraan umum, David."

"Katakan saja jika kau mengendarai taksi online jika rekan kerjamu bertanya."

Jun menghela napas dan menuruti permintaan adiknya itu. David sudah menebak bahwa Jun akan menolaknya dengan alasan rekan kerjanya yang tidak mengetahui bahwa ia berasal dari keluarga berada. Ia menyiapkan alasan agar dapat mengantar kakaknya yang keras kepala itu.

Sepanjang perjalanan, hanya keheningan yang mengiringi mereka. Tak ada percakapan sama sekali, dan keduanya sama-sama menikmati jalanan dengan kendaraan yang berlalu lalang. Sampai akhirnya Jun menyadari, bahwa David membawa mobilnya melewati jalur yang lebih jauh dari jalan yang biasanya Jun lewati.

"Mengapa kau mengambil jalan ini? Jalur ini lebih jauh."

"Aku hanya ingin bersamamu lebih lama."

Jun hanya terdiam tak menanggapi jawaban adiknya, kembali menatap jalanan yang mulai ramai namun stabil.

"Kuharap kau berhenti berdebat dengan Kak Daniel."

Jun kembali menoleh, melihat wajah adiknya yang masih fokus menatap jalanan tanpa beralih sedikitpun.

"Aku kasihan dengan Justin dan John yang tidak mengerti apapun, mereka selalu murung setelah melihat kalian berdebat. Jadi kumohon, mengertilah."

Jun tak mampu menimpali. Ia helakan napas sejenak dan menyandarkan punggungnya. Kembali menatap jalanan. Sering kali ia lepas kendali jika sudah berdebat dengan kakak sulungnya sampai melupakan ada dua anak polos yang kala itu masih tidak mengerti apapun kecuali menangis dan tertawa.

"Maafkan aku."

***

Matahari bersinar gagah, lurus tepat di atas kepala. Menciptakan hawa panas yang menyengat, hingga membuat siapapun akan terbanjiri oleh keringat. Jun menyeka peluh yang hampir menetes dari rahangnya usai melayani satu pelanggan. Ia duduk sejenak, mengistirahatkan persendiaannya sambil menunggu pelanggan lain yang (mungkin) akan datang.

Lonceng pintu terdengar, menandakan seseorang baru saja masuk, membuat Jun refleks berdiri hendak melayani. Tapi seketika wajahnya berubah datar setelah menyadari siapa yang datang. Ia mengenali betul sosok itu walau wajahnya tertutup masker lengkap dengan kacamata hitam dan topi.

"Mengapa kau kemari?"

"Ada yang ingin aku bicarakan denganmu, kemarilah."

Jun tak berkutik, ia turuti permintaan kakaknya itu, walau ia sudah menebak apa yang akan dibicarakannya adalah sesuatu yang tentu tidak disukainya. Jun membuntuti kakaknya tang berjalan menuju sisi cafe, memilih tempat yang tidak ada seorangpun yang akan melirik keduanya.

12 MAWAR HITAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang