Dua Belas

273 24 0
                                    

Jun berlutut di hadapan nisan-nisan saudaranya yang berjejer, ia menatap satu persatu bergiliran kemudian menunduk dan menautkan kesepuluh jarinya, memanjatkan pesan melalui hati juga doa yang ia panjatkan dengan tulus, berharap Tuhan akan menjaga saudara-saudaranya dan menjadikan mereka bahagia di alam mereka yang sudah terpisah.

Mawar-mawar hitam sudah terletak di makam mereka masing-masing, sebagaimana mereka yang indah juga tangguh. Jun masih enggan beranjak, tapi ia perlu pulang untuk memastikan keadaan dalam mansionnya tetap baik-baik saja. Ia helakan napas sebelum akhirnya melangkah pergi.

Langkahnya yang mengayun tanpa semangat, tiba-tiba terhalang oleh keberadaan seseorang bertubuh besar. Ia angkat kepalanya, melihat siapa yang berdiri menghalangi langkahnya. Wajah pria itu tertutup, akan tetapi Jun langsung mengenalinya.

"Aku yakin kau kuat, Jun."

Jun menunduk, terlalu malu untuk menunjukkan wajahnya.

"Maafkan aku, Papa. Aku tak bisa menjaga mereka, aku ingin menyerah tapi ..."

Jun menghentikan ucapannya, lidahnya tercekat setelah memori-memori mengerikan kembali mengitari kepalanya. Ingin menangis, tapi ia sudah terlalu banyak mengeluarkan air mata, lagi pula ia tak mungkin menangis di depan ayahnya.

"Ikutlah denganku, aku akan berbicara denganmu di tempat lain."

Jun hanya mengangguk lemah.

***

Di tempat yang entah di mana, seorang Ayah kini sedang duduk berdua dengan putranya, momen yang seharusnya menjadi hal biasa bagi keluarga cemara pada umumnya, menjadi berbeda jika sudah keluarga Xanders yang memiliki momen itu. Jika orang lain yang merasakannya, mungkin mereka tidak akan tahan dengan hubungan darah serenggang ini.

"Papa ingin membawa kalian pergi dari negara ini, tapi tak menutup kemungkinan musuhku tak menguntit.

Maaf karena sudah membebankan hal seberat ini padamu, Jun."

Jun mengangkat kepala, ia tatap lekat wajah ayahnya. Wajah khas warga barat dengan kulit putih kemerahan, hidung jejang dan mata elang yang indah.

"Jika kalian pindah negara dan mengganti identitas, apa kalian siap?"

Jun hanya terdiam, berpikir bahwa hal itu bukanlah hal yang mudah, dan tentu musuh sang papa adalah orang yang sangat cerdik, sekalipun mereka pergi, 1001 cara akan selalu ada untuk mengincar mereka.

"Papa,"

Tuan Xanders menatap putranya intens, seakan ada hal penting yang akan disampaikannya.



























"Aku ingin tahu wajah musuh Papa, aku ingin membunuhnya."

***






























Jun kembali dengan tatapan kosong. Ia harus kembali dan terus berjuang melindungi adik-adiknya yang tersisa. Berat, rumit, jika bukan karna adik-adiknya mungkin ia sudah menyerah lebih awal. Jika hanya satu nyawa yang ia awasi, mungkin ia mampu. Tapi yang harus ia lindungi adalah kesepuluh adiknya yang kini tersisa lima. Ingin mengurung mereka, tapi mereka pula membutuhkan pendidikan untuk melanjutkan masa depan. Tak mungkin selamanya mereka akan bergantung pada harta sang Ayah.

Baru saja masuk, ia sudah disambut oleh kedua adik kembarnya yang baru saja menuruni tangga dengan pakaian rapi.

"Ada jam kuliah?" tanya Jun.

Keduanya mengangguk.

Jun nampak menghela napas, entah semenjak kelima adiknya pergi ia selalu merasa berat jika melihat adik-adiknya hendak keluar. Membayangkan kematian saudara-saudaranya di luar pengawasan juga di luar dugaan membuatnya sedikit trauma.

12 MAWAR HITAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang