Sembilan

282 28 1
                                    

Pisau kecil itu tertancap tepat di lengan Marcell, dan pria serba tertutup itu melarikan diri. Jun mengeluarkan pistolnya dan menembak ke arah pria itu pergi, sayangnya bidikannya meleset.

David berlari, mengejar pria itu. Tak ingin adiknya mengejar sendiri, Jayden menyusul. Keduanya mengejar dan David mengeluarkan pistolnya yang selalu siaga ia bawa. Tapi, belum sempat membidik, pria yang dikejar mereka telah menembakkan gas air mata, membuat keduanya refleks berhenti dan menutup wajah mereka.

Jayden mulai terbatuk. Mau tak mau mereka mundur dan menjauh. Sekalipun mereka mengejar, mereka pasti sudah kehilangan jejaknya.

Marcell merintih akibat pisau yang masih tertancap kokoh di lengan kekarnya, Jun mulai khawatir karena kemeja Marcell yang mulai berlumuran darah.

"Ayo, kita ke rumah sakit!" titah Jun.

"Tidak perlu, Kak. Lagi pula ini hanya pisau kecil," sanggah Marcell.

"Tapi-"

"Tenanglah, Kak. Kita bisa meminta tolong dokter Kim. Jika kita tidak pulang, adik-adik kita akan khawatir."

Jun tidak mampu menyanggah lagi. Begitulah Marcell, tak pernah ingin siapapun mengkhawatirkan dirinya jika terjadi sesuatu padanya.
David dan Jayden telah kembali.

"Maaf, Kak. Kami kehilangan jejaknya," sesal Jayden.

Jun menghela napas, "tak apa. Kita harus segera pulang, aku takut ada pendarahan di luka Marcell."

Keempat pria itu kembali ke dalam mobil. Jayden mulai mengemudikan mobilnya dan sedikit menambah kecepatan. Marcell sesekali merintih karena pisau yang masih menancap itu tentu menyakitinya jika ia menggerakkan tangannya.

Jun menoleh pada adiknya yang terus menahan rintihannya. Ia merasa bersalah, karena menyelamatkannya, adiknya yang harus terluka. Jun bergeser mendekat, hendak mencabut pisau itu.

"Tahan sebentar!"

Marcell mengangguk. Perlahan Jun memegang pisau itu dan menariknya, berusaha agar tak memperbesar lukanya. Marcell memejamkan mata, menahan sakit saat pisau itu dicabut perlahan. Akhirnya, pisau itu tercabut. Seketika Jun menekan luka tusukan itu agar tak mengeluarkan banyak darah. Tentu hal itu juga menyakitkan.

"Tekan lukamu sebentar, jangan sampai terlalu banyak mengeluarkan darah."

Lagi, Marcell hanya mengangguk dan menuruti kakaknya.
Jun mulai menggigit bajunya, dan merobek sedikit di bagian bawahnya. Ia ikatkan sobekan bajunya pada lengan Marcell yang terluka untuk menahan agar tak banyak darah yang keluar.

Marcell melihat lengannya yang sudah terbalut rapi, walau rasa perih berlebih terasa saat lilitan kain itu begitu erat mengikatnya. Sesekali David menoleh ke belakang, melihat keadaan adiknya yang gemar sekali menyembunyikan rasa sakitnya, demi membuat orang lain tak khawatir padanya.

"Terimakasih, Kak."

"Tak perlu berterimakasih. Sudah tugasku sebagai kakakmu."

Marcell hanya tersenyum kemudian menatap David yang tengah memperhatikannya. Tapi seketika David kembali mengalihkan pandangannya ke depan. Ia tersenyum lagi. Ia tahu betul bahwa sebenarnya kakaknya adalah orang yang sangat pengertian, hanya saja tertutup oleh sifat dinginnya.

Jun kembali mengambil pisau yang menusuk adiknya itu. Ia memperhatikannya dengan seksama sembari berfikir, pisau itu terlalu kecil untuk mencelakai tubuhnya yang besar, akan tetapi berbeda cerita jika pisau itu menusuk lehernya. Ia letakkan kembali pisau itu, lalu menatap adiknya yang hanya terdiam. Lagi, ia merasa bahwa sosok Marcell adalah malaikat tanpa sayap yang Tuhan titipkan padanya. Ia merangkul adiknya dengan hati-hati, takut mengenai lukanya.

12 MAWAR HITAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang