Delapan

317 31 3
                                    

-Apa kabar?-

"Berhenti mengusik anak-anakku, mereka tak pernah terlibat apapun dengan masalah kita!"

-Oh, santai. Kita bicara perlahan saja.-

"Jika kau ingin membalaskan dendammu lakukan saja padaku, bukan anakku!"

-Oh, begitu? Bukankah apa yang aku lakukan juga setara dengan perbuatanmu?-

"Semua itu bukan aku yang melakukan sepenuhnya, aku hanya suruhan!"

-Tetap saja tanganmu yang sudah menghabisi kekasihku dan keluarganya.-

"Cukup balaskan dendammu padaku, bukan anakku?!"

-Apakah dendam bisa ditawar?

Oh ya, ngomong-ngomong kau harus datang ke apartemen tempat kita pernah bertemu, tapi kurasa kau akan terlambat walaupun kau terburu-buru kesana.-



























***

Jun terus menginjak pedal gasnya sambil terus mengawasi ponselnya. Titik keberadaan adiknya terhenti di salah satu apartemen yang cukup jauh dari mansionnya. Ia tak memikirkan apapun selain ingin segera menjemput Justin untuk pulang. Ia terlalu khawatir membiarkan adiknya berada di luar sendirian, terlebih ia hanyalah seorang bocah SMP yang sebentar lagi tamat.

Jun memarkirkan mobilnya segera. Ia memastikan kembali bahwa keberadaan adiknya benar-benar tepat di tempat yang akan ia tuju. Ia raih penselnya, mencoba untuk menghubungi Justin sambil berjalan hendak memasuki gedung apartemen dan mencari titik keberadaan adiknya. Hanya saja Justin tak kunjung mengangkat teleponnya.
Ia sedikit kesal karena tak ada jawaban. Mau tak mau ia yang masuk untuk mencarinya sendiri. Jun melangkah, hendak masuk. Akan tetapi ...

Brakk.

Seketika Jun kembali menoleh ke belakang, teriakan histeris terdengar dimana-mana setelah melihat tubuh bocah SMP yang terbaring tepat di depan gedung itu dengan darah yang mengalir dari kepalanya. Jun yang penasaran, sedikit mendekat dan memastikan siapakah orang yang baru saja terjatuh dari lantai yang cukup tinggi itu. Seketika langkahnya terhenti, ponselnya terjatuh dari genggamannya.





















"Justin ..."



***

Tuan Xanders berjalan tergesa hendak memasuki apartemen yang ia tuju, tapi baru saja kakinya menginjak halaman, ia telah disambut dengan kerumunan tepat di depan gedung apartemen itu. Ia berlari, membelah kerumunan itu. Memastikan apa yang sedang terjadi.

Begitu tubuh besarnya berhasil melewati kerumunan itu, matanya disambut dengan pemandangan menyedihkan. Jun duduk sambil memangku tubuh Justin dengan tangan yang sudah terlumuri darah yang mengalir dari kepalanya. Bohong jika hatinya tak sakit melihat tangisan Jun yang masih meratapi adiknya, sampai akhirnya Jun mengangkat wajahnya. Menatap Ayahnya dengan mata berlinang.

"Papa ..."

Tuan Xanders turut merendah, berlutut tepat di sisi tubuh Justin. Jemarinya meraba leher putranya, mencari denyut nadi disana, juga meraba pergelangan tangan. Jun menatap Ayahnya penuh harap, ingin sekali mendengar bahwa masih ada kesempatan untuk menyelamatkan nyawa adiknya. Akan tetapi, ayahnya justru menggeleng lemah.

Tangisan Jun semakin terpecah, ia tatap wajah adiknya yang telah tertidur untuk selamanya. Ia peluk tubuh Justin tanpa melepaskan ratapannya.
Lalu bagaimana dengan tuan Xanders? Tentu luka kembali menghujam perasaannya, melihat satu putranya lagi pergi meninggalkannya, juga air mata putra tertuanya itu.

12 MAWAR HITAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang