Sepuluh

317 27 0
                                    

Jun berlari menuju kamar adiknya yang sempat ia marahi ketika makan malam berlangsung. Setelah mimpi aneh yang mampir ditengah tidurnya, membuat pikirannya seketika melayang kemana-mana.
Perlahan Jun membuka kamar Travis, melihat apakah adiknya kini tengah baik-baik saja.

Nampak sekali, Travis sudah terlelap di atas tempat tidurnya. Jun berjalan mendekat, menatap lekat wajah adiknya yang nampak pulas. Tetap tampan sekalipun tengah tertidur. Jemari Jun menyingkap surai hitam indah adiknya yang menutupi mata, kemudian mengusap lembut kepalanya. Lagi, rasa sesal kembali ketika menatap wajah sendu adiknya.

"Maafkan aku, Travis. Aku merasa terlalu banyak kehilangan, aku tak ingin siapapun jatuh sakit. Jika bukan karna aku mengajak Marcell, mungkin ia tak akan bernasib sama dengan Kak Daniel. Harusnya aku yang pergi, bukan dia."

Air mata mengalir tanpa seizinnya. Hatinya kembali perih mengingat apa yang terjadi lusa lalu. Jun mengusap air matanya, kemudian memperbaiki selimut adiknya dan keluar. Membiarkan adiknya menikmati bunga tidurnya.

Sepeninggalan Jun, mata indah Travis justru terbuka. Ia tak benar-benar tidur, hanya berpura-pura. Ia tarik kembali selimutnya, hingga menutupi wajahnya.

***

Jun mampir sejenak di salah satu cafe, mencari sesuatu untuk menghilangkan dahaganya. Karena kesepian berada di rumah sebab adik-adiknya yang masih berada di sekolah dan kampus mereka masing-masing. Jun duduk, sambil menyesap minumannya dan memainkan ponselnya.

"Kak Jun."

Jun mendongakkan kepalanya, melihat ke arah gadis yang baru saja menyapanya.

"Jin Ah."

"Boleh aku duduk di sini?"

Jun hanya mengangguk kemudian kembali pada ponselnya. Jin Ah duduk dengan sedikit canggung, pasalnya ia tak pernah duduk berdua dengan mantan kakak tingkatnya itu, juga pribadi Jun yang memang jarang bergaul dengan yang lain. Ia terus memperhatikan wajah pria itu, matanya meneliti inci demi inci dari keindahan paras keturunan Xanders itu.

Jun menyadari bahwa dirinya tengah diperhatikan, ia melirik ke arah Jin Ah yang terus menatapnya. Seketika Jin Ah mengalihkan tatapannya dan meminum minumannya. Salah tingkah.

"Kau tidak kuliah?" tanya Jun memulai percakapan.

"Aku tidak ada jadwal hari ini, Kak."

Jun hanya mengangguk-angguk kemudian kembali menyesap minumannya. Jin Ah kembali memperhatikan pria yang duduk di hadapannya.

"Kak, Appa-ku bersedia membantu jika kau ingin mencari siapa pembunuh adik-adikmu."

Seketika Jun tersedak, terkejut mendengar penuturan mantan adik tingkatnya itu. Ia mengusap bibirnya dan kembali menatap Jin Ah.

"Aku masih belum membutuhkan pertolongan, aku akan mencarinya sendiri."

"Biarkan Appa-ku membantumu, kak. Aku yakin kasus seperti ini sulit untuk kau pecahkan sendiri."

Jun nampak terdiam dan menunduk sejenak. Ia melirik arlojinya, kemudian menghela napas.

"Aku harus pergi."

Baru saja Jun hendak berdiri, Jin Ah mencegahnya.

"Bolehkah aku meminta kontakmu? Aku bisa membantumu suatu hari nanti."

Jun terdiam, nampak berpikir sejenak. Jin Ah menelan saliva yang mendadak terasa berat, semakin gugup karena tiba-tiba ia nekad meminta kontak milik pria yang dikaguminya.

"Berikan saja kontakmu, aku akan menghubungimu jika aku perlu."

Jin Ah mengangguk. Ia mengeluarkan ponselnya dan memberikan kode QR miliknya. Ia berusaha menyembunyikan rasa senangnya karna akhirnya, ia dapat berkomunikasi dengan Jun.
Jun kembali menyimpan ponselnya usai menyimpan kontak milik Jin Ah.

12 MAWAR HITAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang