05.

242 32 0
                                    

Dikarenakan sang ayah barusaja terkena musibah, Dara harus mengubur rencana pergi ke pasar malam dengan ayahnya. Tapi syukurlah Gavin tidak terluka serius yang artinya ia bisa pulang ke rumah tanpa mendapat perawatan inap rumah sakit.

Namun, hal lain yang tak pernah Dara harapkan terjadi.

Dara merasa sangat canggung dan tidak nyaman dengan kehadiran dua orang asing di meja makan keluarganya. Terlebih lagi, Luna merebut kursi keramat milik Dara.

"Luna, tambah lagi lauknya. Biar kamu cepat besar sayang."

Sekarang Dara tahu. Pasti Diana tergila-gila pada anak kecil bernama Luna itu. Diana memang pencinta anak kecil berbanding terbalik dengan Dara yang sejak dulu tak suka anak-anak. Apapun itu. Anak burung, anak ayam atau anak singa.

"Iya, Oma."

Uhukk!

Uhukk!

"Oma?" cicit Dara dan Arkan berbarengan.

Diana tersenyum pada Arkan. "Kalau ibu ada di rumah Luna suka main ke sini. Jadi kami udah cukup akrab," jelas Diana. "Ibu yang minta Luna manggil Oma, gakpapa kan Pak Arkan?"

Arkan berdehem. Dia benar-benar sangat canggung dengan situasi ini. "I-iya, Bu. Boleh." Sudah menolak secara halus pun, Diana tetap berhasil menyeret Arkan untuk bergabung makan malam di rumah mereka.

"Arkan. Jadi kamu penyewa rumah sebelah kami?" tanya Gavin. Setelah lama diam akhirnya Gavin berbicara.

Arkan mengangguk. "Iya, Pak."

"Semoga kamu nyaman tinggal disini. Dan kalau kamu terganggu sama suara teriakan putri kami kamu bicara saja."

Arkan melirik Dara sekilas. "Iya, Pak."

"Ayah, kapan aku teriak-teriak?" Dara tak terima dengan cibiran Gavin pun protes.

Gavin berpikir sejenak. "Setiap satu jam sekali."

"Ayahh!!"

Gavin sontak tertawa. Putrinya sangat menggemaskan saat menahan kesal. "Ayah dengar kamu adu jotos lagi di sekolah. Sama siapa?"

Dara melotot dan melirik Arkan sekilas. Kenapa ayahnya harus membicarakan hal itu di depan oranglain?

"Sama orang. Udah gak usah dibahas, ayah." Ayahnya sangat menyebalkan malam ini.

"Ra, kamu udah kelas tiga. Kamu mau masuk kuliah tidak?" tanya Gavin dengan nada serius.

Dara terdiam. Jika mendengar soal kuliah, Dara selalu tak percaya diri. "Gak."

"Kenapa?"

"Karena Dara gak pinter," balas Dara enteng.

"Terus kamu mau ngapain. Nikah?"

"Ayah ngawur." Dara mengernyit.

"Kamu harus kuliah. Jadi belajar lebih rajin lagi."

"Kak Dara malas belajar ya?" Luna menatap Dara dengan raut bertanya.

Dara mengangguk jujur.

"Papa Luna pinter. Dia pernah jadi guru les. Papa bisa ajarin kak Dara supaya jadi orang pinter," ucap Luna dengan lugunya.

"Luna." Arkan memegangi lengan Luna kemudian menggeleng.

"Oh ya?" Diana mulai tertarik. Anak kecil memang selalu mengundang banyak keberuntungan.

"Kalau begitu apa pak Arkan bisa--"

"Diana." Gavin memotong. "Maaf Arkan. Kamu adalah seorang pengusaha jadi pasti kamu tidak punya waktu untuk mengajari Dara."

Arkan mengangguk. "Iya, pak. Sebenarnya saya bisa tapi sepertinya Dara tidak mau."

Dara membeku saat Arkan menatapnya. Hidupnya tidak akan lagi menyenangkan jika berurusan dengan pria yang Dara temui di lampu merah itu. Bagaimana pun Dara tahu bahwa Arkan akan menjebaknya untuk balas dendam.

"Dara bisa belajar sendiri. Dara janji bakal belajar keras buat dapet nilai kayak Sella. Dara bakal masuk kuliah di universitas bagus. Dara janji, Mamah, Ayah."

Dara sangat pasrah. Dia menatap kedua orangtuanya penuh permohonan. Namun,

Diana tersenyum manis pada putrinya. "Dara, belajarlah dengan pak Arkan."

...

Untuk pertama kalinya Dara pergi sekolah dengan wajah lesu. Ini karena permintaan Diana kemarin. Semuanya menjadi kacau setelah kehadiran penyewa rumah ibunya.

Dara malas berurusan dengan orang dewasa. Dara tidak punya kesabaran seluas samudra. Dara selalu ingin melakukan hal menyenangkan tanpa mengenal aturan.

Tapi bayangkan jika Dara harus mulai mematuhi perintah Arkan untuk memecahkan materi-materi pelajaran yang memuakkan itu.

Bagaimana bisa?

"BAGAIMANAA BISAAAA!!"

Dara menjerit ditengah lapangan seperti orang stres. Sejurus kemudian gadis itu langsung berlari menuju kelasnya saat menyadari tingkah konyolnya.

"Pak Duda sialan! Gue tau lo mau balas dendam ke gue karena gue umpat habis-habisan waktu itu! Gue gak akan terjebak sama rencana lo!" Dara berbicara sendiri sepanjang undakan tangga. Cara berjalannya yang jauh berbeda dari kebanyakan wanita membuat Dara dicap sebagai gadis tomboy.

Tingkahnya selalu diluar prekdisi BMKG. Seperti saat ini. Dara sibuk memukuli tembok kelas begitu duduk dibangkunya.

"Ara, lo kenapa?" Sella segera duduk disamping temannya yang tampak gelisah.

"Sella...." Tangis Dara pecah tak terbendung lagi. Dia terisak seolah barusaja kehilangan sanak saudara.

"Ra, siapa yang meninggal?!" Sella langsung berpikir bahwa itu adalah berita duka.

Dara menggeleng. "Masalah gue jauh lebih besar. Gue pinjem otak lo bentar, La. Please...."

Sella menghela napas. "Asal lo tau otak manusia gak bisa bakal bisa di pinjemin. Kalau aja bisa gue juga bakal mau tukeran otak sama lo."

Dara mengerjap. "Bisa, Sel. Ayo ke rumah sakit biar otak kita di bedah dulu terus ditukerin sehari."

Sella langsung menggeleng. "Ogah! Lo kira segampang itu."

"LAAAA! LO HARUS MAU!!"

Dara malah merengek. Sella pun segera melarikan diri keluar kelas sembari berteriak, "LO SETRES DARA!!"

"JANGAN KABUR, LA! TOLONGIN GUE!"

.
.
.
.
.
.
.
.
.

Hallo, Pak Duda!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang