13.

156 16 0
                                    

"Kamu hanya perlu hafal rumus yang saya tulis di sini. Kalau sudah hafal di luar kepala, akan mudah memecahkan soal-soal gampang seperti ini saat ujian," jelas Arkan. "Sekarang, coba kerjakan soal di halaman seratus dua."

Arkan mendorong buku materi ke hadapan Dara. Dia lihat Dara sedang asik bertopang dagu sambil menatapnya dengan alis yang bertautan.

"Dara. Kerjakan soalnya." Arkan mencoba sabar meski sebenarnya ingin sekali mengomel.

Dara mengerjap. Lantas menatap buku. "Soal yang mana?" tanyanya bingung.

"Kamu lagi mikirin apa sampai gak fokus begini?" tanya Arkan.

"Gak mikirin apa-apa," kilah gadis itu.

"Sekedar mengingatkan. Saya mengajari kamu bukan untuk main-main. Mestinya kamu hargai perjuangan ibu kamu yang sudah mengeluarkan uang supaya saya bersedia mengajari kamu."

Dara mendengus. "Lagi-lagi pak Arkan ngomongin soal ibu saya."

"Memang kenapa?"

"Pake nanya. Pak Arkan itu udah terlalu terang-terangan buat ngerayu ibu saya."

Mendengar itu kedua mata Arkan membelalak. "Astagfirullah, Ra. Kamu ini bicara apa?" Arkan sangat bingung. Sikap Dara terlihat beda semenjak tadi pagi. Gadis itu bahkan terus menatapnya dengan raut kesal.

"Saya tau pak Arkan lagi berusaha deketin ibu saya. Jadi gak usah pura-pura baik lagi sama saya. Setelah ini, saya gak mau lagi belajar sama pak Arkan," sulut Dara kesal.

"Dara, kamu ini melantur."

"Pagi tadi saya lihat pak Arkan lagi ngobrol berdua sama ibu saya di teras rumah. Keliatan banget kalo pak Arkan lagi ngincar ibu saya. Ya kan?"

Arkan spontan memijat kening. "Saya pusing, Dara."

"Waktu ayah saya kecelakaan, pak Arkan langsung siaga ngasih pertolongan supaya hati ibu saya tersentuh. Terus waktu motor saya hilang pun, Pak Arkan sukarela nawarin bantuan supaya dapat perhatian ibu saya. Makanya waktu itu pak Arkan langsung setuju waktu di undang makan malam di rumah. Tadi pagi juga pak Arkan pura-pura baik sama saya supaya saya luluh dan nerima hubungan pak Arkan sama ibu saya."

Seperkian detik, Arkan hanya diam membeku tanpa kata. Ia tampak terkejut dengan skenario yang Dara buat-buat di otaknya. "Oke. Saya sudah dengarkan semua unek-unek kamu. Sekarang, tolong kamu dengarkan saya."

Dara hanya menatap malas.

"Saya ini gak pernah punya niat merayu ibu kamu," ucap Arkan dengan penuh penekanan.

"Saya selalu menghargai ibu kamu. Malah saya sangat menghormati ibu Diana sama halnya saya menghormati ibu saya. Apalagi Bu Diana adalah kepala wilayah ini dan juga pemilik rumah yang saya sewa sekarang. Selain itu Bu Diana juga sering memberikan saya masakan buatannya yang bisa bikin rindu saya terobati setiap ingin makan masakan ibu saya."

Dara masih diam. Arkan pun melanjutkan.

"Karena itu, saya cuma mau membalas kebaikan ibu kamu dengan membantu kamu kemarin. Bukan berniat mencari perhatian. Saya gak pernah sedikitpun menaruh keinginan untuk merebut ibu kamu dari pak Gavin. Karena kelihatannya ibu kamu seumuran dengan ibu saya. Apa mungkin saya menyukai wanita seumuran ibu saya?" Pertanyaan Arkan menciptakan keheningan yang cukup lama.

Bagaimana pun, Arkan mampu memilih kata dan nada yang mudah Dara terima. Arkan harus pelan-pelan menjelaskan, agar Dara tak lagi menyimpan salah paham padanya.

Dara berdehem. Hatinya mulai merasa tak enak melihat wajah Arkan yang tiba-tiba murung.

"Ya-yaudah, bagus kalau pak Arkan emang gak ada niatan ke ibu saya. Saya bersyukur deh karena saya gak jadi jualan ayam."

Arkan mengernyit. "Jualan ayam?"

Dara mengangguk. "Saya udah punya rencana kalau nanti orangtua saya cerai, saya bakal ikut ayah terus jualan ayam warna-warni."

"Kenapa ayam warna-warni?" Arkan heran.

"Kalo jualan cimol saya gak mau. Nanti pas di goreng meledak!" Dara tertawa. Teringat dulu pernah mencoba membuat makanan itu bersama Sella. Dan ya, Meledak!

Tanpa sadar Arkan ikut tertawa. Lalu tak lama ia menggeleng. Semudah itu Dara membuatnya tertawa setelah barusaja membuat darahnya sempat naik?

Licik sekali.

"Saya sudah diamanatkan oleh pak Gavin agar kamu bisa lulus ujian masuk kuliah nanti. Jadi saya harap kamu bisa lebih fokus."

"Apa?! KULIAH?!"

Arkan langsung mengusap telinga kirinya. "Gak usah teriak juga, Ra."

"Ayah beneran mau bikin saya masuk kuliah?" Dara bahkan tidak percaya dengan kemampuannya sendiri. Tapi kenapa Gavin malah memberinya beban seberat itu?

"Kamu pasti bisa. Selama kamu punya tekad dan kemauan."

Dara menekuk wajah. Itu memang masalah utamanya. Dara memang tidak pernah punya tekad apalagi kemauan untuk berkuliah.

"Saya juga gak yakin sama kemampuan saya sendiri," ungkap Dara parau.

"Saya ada buat bimbing kamu. Kenapa kamu cemas?"

Dara hanya diam. Bingung harus menjawab apa.

"Kerjakan soal ini." Arkan menunjuk soal yang dia maksud tadi.

Dengan wajah setengah malas, Dara akhirnya meraih pensil dan mulai mengerjakan soal di buku catatannya.

Sementara Arkan mulai menyanggah satu kepalanya dengan satu tangan, sembari memerhatikan wajah Dara yang sedang kebingungan memecahkan soal. Hingga tanpa sadar Arkan bergumam, "Pikiran anak SMA memang masih setipis tisu."

Dara mengangkat wajah. "Pak Arkan ngeremehin saya?!" Dia jelas bisa mendengar gumamam itu.

Arkan menggeleng. "Saya cuma heran kenapa kamu bisa sampe berpikir kalau saya mau menggoda ibu kamu."

"Ya bisa jadi pak Arkan emang lagi nyari istri baru kan?" tanya Dara seenaknya.

Arkan refleks terkekeh kecil mendengar itu. "Jika saya berniat mencari calon istri baru, mungkin yang mau saya deketin bukan ibu Diana."

"Lalu siapa?" tanya Dara.

"Mungkin, putrinya."

.
.
.
.
.
.
.

terimakasih sudah membaca sejauh ini. See u in the next part.

Hallo, Pak Duda!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang