Akhir pekan kedua tiba. Hari minggu yang Dara tunggu-tunggu. Pagi-pagi sekali Dara bisa dengan ajaibnya bangun sendiri dan bergegas mandi lalu memakai pakaian yang paling dia sukai.
Dara akan memakai pakaian terbaik jika bertemu dengan orang yang istimewa.
Dara mengepang rambutnya menjadi satu lalu disampirkan di bahu. Seperti Elsa di film prozen.
Selesai dengan rambutnya, Dara segera turun ke bawah.
"Kamu mau ketemu pacar, Ra?" tanya Diana yang sedang memasukan bahan masakan ke dalam kulkas.
Dara mendengkus. "Iya. Pacar aku sekarang pulang. Mau main ke pasar malem. Wlek!"
Diana tertawa dan menggeleng kepalanya melihat tingkah Dara.
Dara membuka pintu rumahnya. Lalu duduk dibangku kayu yang tersedia di teras bersiap menunggu pujaan hati dengan wajah segarnya.
"Papa! Luna mau coba! Luna bisa maen bola itu Papa!"
Dara menoleh ke sebelah kanan. Dia menatap Arkan dan Luna yang sedang bermain bola basket di halaman rumah mereka. Entah sejak kapan Arkan memasang ring basket dihalaman rumah itu. Rumah yang disewakan pekarangannya memang lebih luas dibanding rumah Diana sendiri.
Dara buru-buru mengalihkan pandangannya saat Arkan melihat ke arahnya.
"Ayah kok belum datang. Biasanya pagi-pagi udah nongol." Dara mulai bosan menunggu.
Dugh!!
"AWH!!"
Dara memegangi kepalanya yang puyeng luar biasa. Dia merasa akan pingsan tapi itu tidak akan pernah terjadi.
Gadis itu menatap bola basket di terasnya lalu beralih menatap Arkan dan Luna yang saling mematung dihalaman rumah mereka.
Dengan kalut Dara mengambil bola basket itu kemudian berjalan ke arah rumah mereka. Dia membuka pagar rumah dengan kasar dan langsung menghampiri Arkan diiringi tatapan murka.
"Sia--"
"Luna yang lempar bola basketnya ke rumah kak Dara. Luna minta maaf."
Dara menunduk menatap Luna. Gadis kecil itu cemberut seolah benar-benar merasa bersalah.
"Kepala kamu lebih keras dari bola basket." Arkan merebut bola dari tangan Dara kemudian melemparnya ke dalam ring dengan sempurna. "Luna bilang dia minta maaf. Dimaafin gak?"
Dara terdiam. Kepalanya masih berdenyut sakit. Tapi melihat tatapan mata Luna yang begitu tulus meminta maaf,
"Iya deh. Kalau Luna orangnya dimaafin." Dara pasrah. Dia tidak ingin membuat masalah dengan anak penyewa rumah baru.
Luna tersenyum senang. "Kak Dara bisa main basket gak?"
"Bisa."
"Coba lawan Papa."
Dara melirik Arkan malas. "Males. Papa kamu bukan tandingan saya."
Arkan hanya mendelik. Gadis SMA itu sangat sombong sampai Arkan ingin sekali menarik kepang rambutnya.
"Kalo kak Dara menang aku kasih es krim."
Dara mengangkat satu alis. Dia tertarik jika soal eskrim. "Berapa biji?"
"Satu."
"Sepuluh," pinta Dara tanpa malu. Dia beralih menatap Arkan yang hanya menyimak. "Pak Arkan emang jago maen basket?"
Arkan tersenyum miring. "Kalo saya yang menang beliin Luna 10 eskrim," tantang Arkan.
"Deal."
Dara langsung mengambil bola basket dan mulai bermain tanpa aba-aba. Baru permulaan dia sudah memasukan bola ke dalam ring berkali-kali.
Arkan tampak kesusahan mengimbangi permainan Dara. Dia tidak tahu bahwa Dara mahir dalam olahraga. Dia hanya tahu Dara mahir mengumpat dan berteriak.
"Ayo papa semangat!! Kak Dara semangat!!"
Luna menjadi pendukung netral. Entah sejak kapan Luna mudah berinteraksi dengan oranglain karena yang Arkan tahu Luna adalah tipe anak yang cuek.
Hap!
Arkan yang hendak memasukan bola kembali direbut oleh Dara dan dengan mudahnya Dara kembali mencetak skor.
"Yeyyy!! Eskrim! Eskrim! eskrim!" Dara berjingkrak-jingkrak kesenangan. Pagi-pagi dia sudah bercucuran keringat tapi itu tidak masalah jika mendapat eskrim gratis.
Arkan masih mengatur nafasnya sembari berkacak pinggang, memerhatikan Luna dan Dara yang asik melompat-lompat sambil berpegangan tangan. Luna tampak tak khawatir karena tahu ayahnya lah yang akan diperas.
"Daraaa!!"
Dara menoleh ke arah rumahnya. "Ayahmu kecelakaan. Ayo ke rumah sakit pake motor kamu," ucap Diana berteriak.
Jantung Dara seperti berhenti berdetak. Dia merasa dunia tidak berputar dalam beberapa detik.
"Ra!! Ayo!!" Diana kembali memanggil membuat Dara tersadar.
"Motor Dara kan lagi di bengkel!" Dara baru teringat motor kesayangannya sedang diservis.
"Apa?! Gimana dong?! Mobil Mama juga lagi di bengkel!" Diana memegangi keningnya bingung.
"Saya antar," ucap Arkan. "Saya akan antar kalian ke rumah sakit! Tunggu sebentar," ulangnya pada Diana. Dia langsung berlari menuju mobilnya yang ada di garasi.
Dara mematung. Berniat menolak tawaran Arkan tapi situasi sedang genting.
Pada akhirnya, Ibu dan anak itu telah duduk manis di dalam mobil yang Arkan kemudi.
"Pak Arkan. Maaf Ibu jadi menganggu waktu libur kamu." Sejujurnya Diana merasa tak enak. Dia telah merepotkan orang yang sibuk seperti Arkan.
"Gakpapa, Bu." Arkan pun tulus membantu.
Setelah itu, sepanjang perjalanan tak ada lagi percakapan yang terjadi. Dikarenakan Dara dan Diana tengah dilanda cemas dan takut.
Tak berapa lama mereka sampai di rumah sakit. Dengan tergesa Dara berlari menuju ruangan tempat sang ayah dirawat.
Dara langsung masuk ke dalam salah satu ruangan dan melihat sosok pria baya tengah terbaring lemah di atas kasur.
"Ayah!"
Dara berlari dan memeluk tubuh ayahnya. Ketakutan yang luar biasa hilang saat melihat kedua mata sang ayah terbuka. "Ayah baik-baik aja kan? Ayah gakpapa? Kenapa ayah bisa kecelakaan? Ayah harusnya hati-hati."
"Satu-satu nanyanya, Ra," ucap Gavin sembari terkekeh. "Cuma kecelakaan kecil. Sekarang ayah gakpapa."
"Mas Gavin." Diana menatap suaminya cemas. "Kamu gak terluka parah kan?"
"Aku baik-baik aja, Na."
Sementara Arkan dan Luna hanya berdiri di ambang pintu karena mereka bukan bagian dari keluarga itu.
"Papa," bisik Luna.
Arkan menatap putrinya yang sedang menarik-narik ujung bajunya itu. "Kak Dara nangis ya?" tanya Luna heran.
Arkan menggangguk. "Kak Dara takut papanya kenapa-napa."
"Papa." Luna menarik lengan Arkan agar berjongkok. Arkan pun segera menuruti permintaan tuan putrinya.
"Iya sayang?"
"Kak Dara mirip Mamanya Luna. Ya kan?"
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hallo, Pak Duda!
Teen FictionDara Susanti adalah gadis SMA yang mendapat peringkat terakhir di kelas. Jadi dia hidup dengan mengikuti kata hatinya karena otaknya tidak berguna dengan baik. Dara Susanti suka mengumpat pada siapapun yang menganggu kesenangannya. Dan di suatu hari...