Drama

448 19 4
                                    

Panik tujuh keliling, Tessa meninggalkan area terbuka dan menghadang waiter yang kebetulan lewat di depannya.

"Mas-Mas, apa di sini ada ruangan private?" tanya gadis itu dengan ekspresi wajah panik karena benar-benar ngeri ditinggal Eka kabur.

"Ada. Mau reservasi atau--"

"Hari ini ada tamu atas nama Eka one atau Grace, nggak?" Tessa menyerkal tak sopan.

Untung sang waiter kelihatan orang sabar jadi dia tersenyum sambil melihat pada layar tablet yang dibawanya untuk memeriksa daftar tamu hari ini sebelum akhirnya mengangguk. "Atas nama Eka One. Ya, nama tersebut ada di ruang tujuh. Mbak bisa jalan ke arah sana."

Sambil memperlihatkan kesan ramah, waiter itu menunjukkan arah jalan yang harus Tessa ambil agar bisa sampai di sana. Namun sialnya, letak gedungnya terpisah dan cukup jauh. Jadi belum apa-apa Tessa sudah bisa merasakan capek duluan sebelum jalan. 

Seandainya saja ... situasinya tidak genting dan kepepet. Tessa pasti sudah pasti memilih putar balik dan menunggu di mobil saja.

Sekarang, senang atau tidak, Tessa merasa harus gegas menuju ke sana dengan sengaja membuat langkah kakinya lebih lebar agar semakin cepat sampai tanpa harus berlari dan bikin keringetan.

Setelah menyusuri area terbuka dan masuk ke koridor gedung kedua di ujung selatan, Tessa masih harus naik ke lantai atas karena menurut papan penunjuk, ruangan private nomor tujuh ada di lantai dua.

Dan karena sudah berjalan cukup jauh dengan stiletto lima sentimeter, Tessa praktis ngos-ngosan sebelum sampai di tempat tujuan. Bahkan ia pun sempat mengutuk pemilik kafe yang punya ide mendirikan sebuah rumah makan di lahan seluas ini tanpa menyediakan kendaraan akomodasi untuk wara-wiri.

Kalau orang datang ke sana dalam mode sangat kelaparan, bisa-bisa sudah pingsan duluan sebelum ketemu dengan mejanya. 

"Restoran yang biasa gue datangi saat di Jakarta aja nggak seluas ini. Gila bener sih ini konsepnya...." Langkah Tessa terseok-seok sambil berpegang pada pagar pembatas balkon dari besi bercat hitam yang dirambati tanaman Ivy yang subur.

Secara tampilan, tempat ini memang cantik dan suasananya pun tenang. Namun secara tata letak, Tessa menolak memberikan review bagus kalau dia dimintai memberikan komentar. 

Sambil membaca dalam hati tiap nomor di pintu-pintu tertutup di sisi kiri, Tessa masih terus mengangsurkan kakinya yang tak lagi mampu melangkah anggun.

Dia sudah melewati ruangan empat, lima, dan sekarang berdiri tepat di depan pintu enam, saat kupingnya mulai bisa mendengar suara samar tangisan seorang wanita dari ruangan nomor tujuh di paling ujung, yang membuatnya sekonyong-konyong melepas sepatu dan merepet ke pintu ruang nomor enam selayaknya ninja.

"Katanya ruang private, kenapa nggak dibikin kedap suara, sih? Kalau gini kan gue bisa nguping meski niatnya datang cuma buat mastiin dia nggak kabur." Tessa bergumam sambil nyengir setan. 

Kebetulan sekali, setelah mengintip ke dalam ruang nomor enam, ternyata tempat itu kosong. Jadi usai celingukan memastikan tak ada yang melihat, Tessa menyelinap masuk ke dalam supaya bisa menguping dengan lebih leluasa dan jelas.

"Nggak mau. Pokoknya aku nggak mau." 

Tessa menempelkan kuping kirinya ke tembok usai meletakkan sepatunya di meja dan mendengar suara wanita yang menangis tadi kini meracau di ruangan sebelah.

"Pokoknya aku nggak mau, Eka. Aku nggak mau dengerin. Aku akan anggap kamu nggak ngomong apa-apa."

"Grace...." Kalau yang ini, Tessa mengenalinya sebagai suara Eka. Terdengar menghiba putus asa. 

Sexy Smoothie (Tanpa Restu) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang