My Love

833 32 3
                                    

Semuanya gatot, alias gagal total.

Tak peduli bagaimana pun Tessa mencoba merayu sang kakek, tetap saja ujungnya ia tak mendapatkan apa yang diinginkan.

Akhirnya, gadis itu masuk kamar dengan perasaan setengah dongkol kepada sang kakek dan Eka, kemudian membanting tubuh kesal ke tempat tidur.

"Perasaan kalau datang langsung ke dokter yang nggak kita kenal juga bakal langsung dikasih obat aja usai sebutin keluhan, tanpa harus kebanyakan wawancara." Tessa meraih ponsel yang belakangan sedikit ia abaikan dan mulai menggulir layar sembari rebahan.

Beberapa panggilan dari orang tuanya tak terjawab. Pesan dari teman-temannya yang masih setia menanyakan kabarnya pun ia abaikan.

Kasus yang menimpanya telah memberikan banyak pembelajaran untuk Tessa, termasuk trauma dan jadi tidak mudah percaya kepada orang lain, terkhusus teman-temannya.

Tessa berpikir, mereka sebenarnya hanya kepo dan bukan tulus peduli padanya.

Jika ia memberi respons, siapa yang tahu jika mereka tak akan pernah membicarakannya di belakang?

Seakan ingin melupakan orang-orang yang telah mengeliminasinya secara kejam itu, Tessa tak berniat menjawab pesan maupun menelepon balik dan malah fokus ke aplikasi favoritnya; e-commerce, surga untuk menghamburkan uang orang tuanya. 

Niat hati cuma mau melihat-lihat mode baju terbaru. Tak disangka, sebuah ide ses4t malah melintas di kepala serupa bintang jatuh yang menembus atmosfer kewarasan. 

Obat tidur paling mujarab.

Jemari lentiknya mulai mengetik di kolom pencarian.

Sinyal wifi kebetulan juga bagus, seakan begitu merestui niat jahatnya. Sehingga dalam hitungan detik, deretan obat pun muncul di beranda aplikasi. Menawarkan berbagai hasiat dengan harga yang terbilang murah dikantong tebalnya. 

Tessa terus memeriksa satu per satu obat yang ditawarkan di sana. Membaca setiap klaim tanpa terlewat. Dan matanya membulat saat akhirnya berhasil menemukan apa yang paling dicarinya.

Cukup semprotkan di depan hidung, dan dalam sekejap, dia akan menjadi milik Anda. 

"Whoooaaa...! Obat apa ini?" Tessa megap-megap saking senangnya.

Setelah membaca beragam komentar yang hampir semua memberikan ulasan bintang lima, Tessa pun tanpa ragu langsung memasukkannya ke dalam keranjang.

Seakan tak peduli dengan segala risiko yang menghadang nanti. Pokoknya untuk saat ini, Tessa hanya dibutakan oleh keinginan untuk bisa mendapatkan Eka yang sudah membuatnya kelimpungan selama berhari-hari.

"Lagian cuma cucu angkat ini. Nggak ada hubungan darah apa pun, jadi kalau kami ujungnya dinikahkan juga nggak masalah, kan." Tessa kembali terhenyak duduk setelah memastikan barang incarannya berada di keranjang, kemudian berjalan keluar menuju kamar Eka.

Kali ini Tessa mengetuk pintunya dengan sangat sopan. Sebab tak mau ambil risiko kembali melihatnya sedang berganti pakaian dan berakhir tak bisa tidur lagi semalaman.

"Ka, aku mau nanya sesuatu!" teriak Tessa setelah tiga kali mengetuk namun tak juga kunjung dibukakan oleh si empunya kamar. "Ini penting banget buat keberlangsungan kesehatan mental aku, Ka!"

Benar saja, alasan kesehatan selalu berhasil membuat Eka cepat tanggap. Sehingga tak lama berselang, pintu pun terayun terbuka dan menampakkan wujud penguasa kamar retro itu walau tetap menunjukkan ekspresi muka tidak ramahnya.

"Bantu aku nulis alamat rumah kakek yang benar. Soalnya aku mau belanja online." Tessa menyerobot masuk tanpa dipersialakan dan langsung duduk di meja kerja Eka.

Mengambil buku tulis secara asal dan juga pulpen, Tessa melirik ke arah pemilik kamar yang masih bengong dan tak kunjung mengatakan apa-apa padanya.

"Sebutin, Eka. Aku udah siap nulis, nih."

"Ini yang kamu bilang menyangkut kesehatan mental kamu?" Eka bertanya ogah-ogahan karena merasa sudah dikadalin lagi oleh sepupunya itu.

"Lho, iya. Shopping itu salah satu caraku buat healing pas lagi stres, marah, sedih, bad mood, atau pun pas gabut." Tessa menjawab tanpa rasa bersalah sudah memanfaatkan kesiagaan Eka setiap disenggol soal kesehatan. "Aku nggak bisa nemuin apa-apa di tempat ini. Jadi aku harus belanja online. Buruan kasih tahu alamat rumah ini."

"Kami sering nerima paket dari Jakarta. Mustahil kamu nggak tau alamat rumah kakek."

"Kan selama ini yang selalu kirim paket ke sini mama, bukan aku. Jadi aku tetep aja nggak tahu pasti alamatnya."

Kalah bicara lagi, akhirnya Eka menyebutkan detailnya secara cepat dan kilat. Berharap gangguan ini akan segera enyah dari kamarnya.

Sayangnya setelah itu, Tessa malah membuatnya menelengkan kepala penuh tanda tanya.

Entah mengapa gadis itu tak juga kunjung beranjak setelah mendapatkan keinginannya dan justru kembali senyum-senyum sendiri menatap bingkai foto yang beberapa waktu lalu sempat disembunyikan Eka ke dalam salah satu laci mejanya.

"Ka, kamu beneran masih jomlo, kan?" Puas memandangi senyum manis Eka di foto itu, Tessa menoleh Eka yang berdiri mematung di sampingnya.

Hening.

Bukannya menjawab, Eka malah mengambil bingkai foto yang baru dipandangi Tessa dan kembali memasukkannya ke dalam laci.

"Kenapa sih, pelit banget? Dua kali aku cuma liatin foto kamu dan dua kali juga kamu langsung masukin foto itu ke laci. Kalau nggak mau diliatin orang, harusnya sejak awal kamu nggak usah panjang foto itu di meja. Mbak di sini juga pasti liatin kan, kalau lagi beberes kamar kamu?"

"Keluar!" Satu perintah datar terucap sebagai jawaban. 

Rasanya, kepala Tessa kembali cenut-cenut seketika.

"Serius, kamu ngusir aku lagi?" Tessa bangkit dan berdiri seakan menantang Eka yang dua kepala lebih tinggi darinya. "Awas nyesel, lho, nanti."

Eka tetap begeming. Memaksa Tessa--yang jadi salting sendiri karena beradu pandang dengannya--untuk mengalah sementara dan keluar sesuai perintah.


Keesokan paginya saat kembali harus bertemu untuk kegiatan rutin keliling dusun-dusun terpencil, mereka kembali terdiam beku layaknya dua orang yang tidak saling mengenal serupa awal pertemuan dulu.

Ralat, bahkan dua orang yang tidak saling mengenal saja masih akan berinisiatif untuk saling mengobrol dan mengakrabkan diri saat sudah duduk bersama. Namun sejauh ini, Eka tentu bukan termasuk orang-orang seperti yang Tessa harapkan itu.

Eka hanya tersenyum kepada orang asing lainnya. Dan Tessa sudah muak memaksa dirinya untuk ikutan bersikap sok ramah kepada Dokter Nuri yang sedari tadi terus saja SKSD padanya.

Bukannya sengaja mau membangun ikatan permusuhan dengannya, tetapi Tessa paham betul kalau alasan dokter uget-uget itu mendekatinya hanyalah karena ada Eka di balik semuanya.

Benar. Apalagi jika niatnya bukan untuk kepo mengenai keseharian Eka di rumah?

Akhirnya, Tessa izin naik ke mobil lebih dulu dengan alasan kurang enak badan. Dan menolak ditemani siapa pun karena dia benar-benar ingin sendiri untuk saat ini.

Sudah cukup menjengkelkan melihat senyum manis Eka terus diberikan kepada para pasien dan rekan seperjuangannya, ditambah masih harus mendengar orang-orang kerap menjodoh-jodohkan Eka dengan dokter Nuri yang disebut serasi.

Dalam kesendiriannya yang setengah mengantuk di ujung akhir jam makan siang itu, Tessa dikejutkan oleh suara getar ponsel Eka yang ditinggalkan di dalam mobil, dan tersimpan di dalam tas kecilnya yang terbuka di atas jok.

Terlihat nama "My Love" di layar pemanggil. Sontak hati Tessa mendadak senut-senut.

Tak ingin m4ti penasaran, Tessa berusaha mempertimbangkan keputusan dengan cepat.

Haruskah dia menjawab panggilan itu?

Sexy Smoothie (Tanpa Restu) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang