17. Hope

14 1 0
                                    

Seminggu berlalu. Semuanya berjalan dengan tidak baik. Tiba-tiba Diamond berubah menjadi seseorang yang suka melamun dan terlihat menyedihkan. Seperti ada yang hilang dari diri Diamond jika diperhatikan.

Heart dan Spade juga berubah menajdi seseorang yang tidak memiliki energi sama sekali. Hanya Clover yang masih terlihat baik-baik saja.

"Kalian semua kenapa sih? Kenapa jadi begini?!" Clover stress. Ia melempar segala barang yang ada diruangan meeting mereka yang sudah seperti kapal pecah. Ruangan itu tidak lagi terawat seperti 4 tahun lalu.

Ketiga temannya hanya diam, tatapan mata mereka kosong. Mereka seperti mayat hidup.

"Gw capek, Clov." Spade berbicara untuk mewakili.

"Capek gimana?! Kita aja belum perang! Kenapa udah capek duluan kalian?" Clover berusaha meredam emosinya. Berusaha tidak bertindak gegabah.

"Kita capek, Clov. Udah beberapa hari ini kita lembur terus." Heart kali ini juga mewakili.

Clover mengacak rambut, menjambaknya. Berusaha tidak menjadi gila juga akibat tindakan ketiga temannya ini yang entah mengapa berubah menjadi seseorang yang aneh dan tidak berenergi.

Diam sesaat.

Helaan nafas Clover yang semula memburu perlahan menjadi tenang, ia duduk di atas kursi yang sudah tidak layak pakai itu dan merenungkan segala memorinya bersama ketiga temannya itu.

Semuanya hancur. Hancur dan hilang. Tak ada lagi yang membuat batinnya sembuh dengan segala luka ini.

"KALIAN SEBENARNYA BECUS GAK SIH?!" Tiba-tiba emosi Clover meledak seperti gunung berapi. Ketiga temannya terlihat terkejut tak main-main, mereka segera menegakkan tubuh mereka berjaga-jaga jika Clover kelewatan dan tidak bisa mengontrol amarahnya.

"Sebenernya.. KALIAN MAU BALES DENDAM JEY ATAU GAK SIH?!" teriak Clover histeris.

"Kita serius ko-"

"JAWAB GUA!!! GW SELAMA INI UDAH SABAR NGEHADAPIN KALIAN!!! Tapi- kenapa kalian justru kayak begini?" tanya Clover lagi dengan nada menggebu-gebu namun diakhir kalimatnya terdengar isakan tangis terdengar dari Clover.

Benar. Clover lagi-lagi menangis, meratapi segala hidupnya yang hancur lebur saat ini. Sebenarnya teman-temannya itu mau membantunya atau tidak sih? Atau mereka hanya ingin memainkan perasaan Clover?

Mereka bertiga tidak berani untuk mendekati Clover yang sedang menjambak rambutnya sendiri dan menangis sesegukan. Tangan Clover dipenuhi sayatan pisau, akibat akhir-akhir ini ia mengalami depresi.

"C-clov, kita tahu perasaan lo tapi sabar dulu ya-" Clover kembali mencela omongan Spade yang menyuruhnya sabar terus menerus.

"SABAR?! GIMANA GW MAU SABAR?! KALIAN! JANGAN NYURUH GW SABAR TERUS. KALIAN KIRA GW GAK MUAK DISURUH SABAR TERUS?!" Clover pergi dari ruang meeting setelah mengucapkan kalimat itu.

Pria itu berlari pergi dari ruangan itu dan membanting pintu meeting. Ia berlari menuju balkon bangunan,  air matanya sudah habis. Ia sudah lelah terus menerus menangis dan merasa tak bisa membalaskan dendam Jey, sang teman yang dulunya menjad tempatnya untuk berteduh.

Dahulu ketika Jey masih ada ia merasa jika hidupnya sudah lengkap dengan segala kesempurnaan yang ada. Tapi.. semuanya hilang dalam sekejap ketika 1 diantara kebahagiaannya hilang.

"Gw.. sebenarnya layak gak sih jadi Clover? Gw bingung.. Kak." Suaranya serak dan wajahnya sudah sembab dan merah akibat menangis. Jiwanya lelah bertarung dengan otaknya sendiri, ia ingin sekali membuang salah satu sisi dari dalam tubuhnya.

"Kalau boleh jujur, gw ngerasa gak layak banget jadi seorang Clover. Apalagi gw emosian orangnya. Gw iri sama temen-temen gw yang lain, pinter banget kontrol emosi mereka." Clover berdialog sendiri. Biarkan saja orang-orang menganggap dia adalah orang gila, ia sudah lelah dengan semua ini.

AITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang