[Semua karakter, tempat, organisasi, agama, dan kejadian dalam cerita ini adalah fiksi]
•••
“Nona, sudah waktunya bangun”
Suara ketukan pintu begitu mengganggu tidur Hanna. Wanita tua yang merupakan pengasuhnya itu berdiri di luar kamar sembari terus mengetuk pintu untuk membangunkan nonanya. Sepertinya gadis itu tidur terlalu larut semalam hingga terlambat bangun.
Hanna mengerutkan keningnya, matanya terbuka perlahan. Dia bangun dari tidurnya sambil mengucek mata. Nyawanya belum kembali sepenuhnya, kepalanya menoleh pada jam digital yang ada di nakasnya. Matanya menyipit melihat waktu yang ditunjukkan jam itu. Seketika matanya membulat menyadari dirinya akan terlambat di hari pertama masuk ke sekolah baru.Gadis itu beranjak dari ranjang besarnya dan berlari ke kamar mandi. Dia mandi secepat yang dia bisa. Selesai mandi dia keluar dari kamar mandi dengan jubah handuknya. Melirik ke arah meja belajar yang sudah terdapat tas, dompet, dan ponsel. Dia mengangkat kedua alisnya dan membatin, Semuanya benar-benar telah disiapkan, seperti biasa. Lalu dia berjalan mengambil seragam barunya yang telah diletakkan di ranjangnya dan kembali ke kamar mandi untuk memakainya. Dia keluar dari kamar mandi dengan seragam barunya yang melekat di tubuhnya.
“Seragamnya...”
Sedangkan di ruang makan, Lio telah duduk dan menunggu putrinya untuk sarapan bersama seperti biasa. Tak biasanya putrinya belum siap di jam ini. Yah, itu tak masalah. Dia bisa menunggu putrinya datang. Lagi pula tak akan ada yang memarahi putrinya walau gadis itu terlambat.
Pria itu menoleh ketika mendengar langkah kaki. Itu dia yang ditunggu-tunggu akhirnya datang. Keningnya berkerut melihat wajah putrinya yang masam di pagi hari. Dia kira putrinya akan senang setelah semalam dia mengabulkan permintaannya untuk pindah ke sekolah baru. Dilihatnya Hanna yang duduk di dekatnya.
“Ada apa dengan wajah masammu itu?” tanya Lio heran.
Hanna menoleh pada sang ayah sambil menghela nafas. Dia kembali berdiri dengan sedikit kesal untuk memperlihatkan seragam barunya dan berkata, “Lihatlah seragamku, ayah”
Lio pun menatap putrinya dari atas hingga bawah. Dia masih tak mengerti apa yang menjadi masalah. “Aku bisa melihatnya, apa yang salah?”
“Ayah tak mengerti? Rok ini terlalu pendek” jawab Hanna sembari menunjukkan roknya yang sedikit di atas lutut. Itu tidak sependek yang gadis itu katakan sebenarnya, tapi memang gadis itu tak suka memakai rok, terlebih lagi yang di atas lutut.
“Bukankah itu masih bisa dibilang panjang?” tanya Lio heran.
“Panjang? Ayah, ini sangat pendek. Benar, bukan, Jade?” merasa tak memiliki pendapat yang sama dengan ayahnya, gadis itu pun meminta pendapat dari pengasuhnya.
“Rok itu tak sependek yang Anda pikirkan, nona” jawab sang pengasuh yang dipanggil 'Jade' itu.
Hanna menatap pengasuhnya yang tak berpihak padanya. Dia menoleh ketika melihat Yohan yang tak sengaja lewat. Gadis itu pun menghentikan pria itu dan bertanya, “Paman, bukankah rok itu terlalu pendek?”
“Tidak, nona. Itu terlihat seperti rok sekolah pada umumnya” jawab Yohan.
“Ah, sudahlah. Kalian bersekongkol” ucap Hanna sembari kembali duduk dan memakan sarapannya. Dia membuat ayahnya tersenyum sambil menggelengkan kepala.
Setelah sarapan selesai, Hanna berangkat bersama kedua pengawalnya menggunakan mobilnya sendiri. Dia duduk di bangku belakang sendirian sambil memilin jarinya karena merasa cemas. Berkali-kali dia melihat jam yang melingkar di tangannya. Jelas-jelas dia sudah terlambat, tapi Adolf menyetir mobil dengan sangat santai.
KAMU SEDANG MEMBACA
LIO And His Daughter
ActionIni sebuah kisah dimana seorang pria yang bertahan hidup dengan melepas semua perasaan manusiawi. Pria yang meyakini bahwa hidup adalah sebuah arena untuk bertarung. Kekuasaan adalah kunci di atas segalanya. Untuk mencapainya, pria itu berjuang kera...