18. Lambang

10 2 0
                                    

[Semua karakter, tempat, organisasi, agama, dan kejadian dalam cerita ini adalah fiksi]

•••

Setelah kejadian penculikan Juan, para pengawal sedikit takut pada nonanya. Entah kenapa melihat seorang gadis yang biasanya tersenyum ramah menjadi dingin seperti itu rasanya sangat menyeramkan. Terlebih lagi nonanya sangat mirip dengan tuannya ketika marah. Suasananya pun akan menjadi dingin dan mencekam jika ayah dan anak itu marah secara bersamaan.

Lio mengetuk pintu kamar putrinya tapi tak ada sahutan dari dalam. Dia pun membuka pintu perlahan, dia melihat putrinya yang ternyata sedang duduk di kursi belajarnya. Kakinya melangkah mendekati sang putri. Langkah kakinya membuat gadis itu menyadari keberadaannya. Putrinya menoleh padanya lalu kembali belajar.

“Hei, mari kita makan malam” ajak Lio dengan lembut.

“Aku tidak lapar” jawab Hanna singkat.

Lio tersenyum melihat putri kesayangannya. Dia duduk di tepi kasur sembari berpikir kenapa bisa gadis ini sangat mirip dengannya. Setelah itu dia pun bertanya, “Kau masih marah?”

Hanna memejamkan matanya sekilas, dia menghela nafas berat. Gadis itu berbalik menghadap ayahnya. Kata-kata si penculik masih terngiang di kepalanya begitu dia menatap sang ayah. Dia beranjak dari duduknya lalu mendekati ayahnya. Dipeluknya sang ayah sambil memikirkan ucapan penculik itu.

“Hei, ada apa?” tanya Lio bingung. Bukannya menjawab, putrinya malah mengeratkan pelukannya.

Gadis itu menatap mata sang ayah lalu bertanya, “Apakah ayah memiliki banyak musuh?”

Ayahnya terdiam mendengar pertanyaannya. Hanna menatap ekspresi ayahnya yang sulit diartikan. Melihat itu, dia pun mendapat jawaban dari pertanyaannya. Karena tak ingin membebani sang ayah dengan pertanyaannya, dia mengecup pipi ayahnya lalu berkata, “Aku menyayangimu, ayo kita makan”

Ditariknya tangan sang ayah menuju ke ruang makan dengan sedikit berlari. Dia melihat Jade yang sedang menyiapkan makanan dan adiknya yang duduk di kursi khusus bayi. Hanna menarik kursi untuk ayahnya lalu mempersilakannya untuk duduk hingga membuat pria itu tersenyum atas perlakuannya. Kemudian dia duduk di samping adiknya sambil mencolek pipi bayi itu. Makan malam pun dimulai.

Dari ruangan bersantai, para pengawal mengintip keluarga tuannya yang sedang makan malam. Grover pun menggelengkan kepalanya melihat kebiasaan buruk rekan-rekannya. Dia yang tadinya duduk dengan santai sambil membaca buku pun beranjak dari posisi nyamannya. Pria itu berjalan mendekati pintu dan menyuruh para rekannya untuk menjauh dari pintu.

“Kubilang jangan mengintip seperti itu” ucap Grover sembari menutup pintu.

“Wah, ternyata nona Hanna sangat menyeramkan jika sedang marah” ucap salah satu pengawal.

Pengawal yang lain pun mengangguk setuju sambil berkata, “Benar, baru kali ini aku melihatnya marah”

“Wajar jika nona marah, kita tidak bisa menjaga tuan muda dengan benar” sahut Adolf yang sedang menjahit kancing jasnya.

“Karena itu kalian bekerjalah dengan benar atau kalian akan habis di tangan Nona Hanna dan Tuan Lio” sahut Grover menambahi.

Para pengawal bergidik ngeri membayangkan ucapan kaptennya. Itu terdengar sangat menyeramkan. Mati karena dihabisi ayah dan putrinya bukanlah ide yang bagus, lebih baik meningkatkan kinerja daripada harus berhadapan dengan pintu neraka.

Di saat para pengawal sedang bergosip tentang tuan dan nonanya, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Grover membukanya pintu dan terlihatlah Hanna yang berdiri di balik pintu. Para pengawal pun langsung berdiri ketika melihat nonanya. Sang kapten berdeham untuk menetralkan keterkejutannya.

LIO And His Daughter Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang