04. Kebaikan

26 4 0
                                    

[Semua karakter, tempat, organisasi, agama, dan kejadian dalam cerita ini adalah fiksi]

•••

Hatcu!”

Sudah lebih dari berkali-kali Hanna bersin pagi ini. Sepertinya pagi ini suhunya sangat dingin hingga membuatnya yang alergi dingin tak berhenti bersin. Bahkan dia memakai jaket hari ini. Hidungnya telah memerah. Yohan menoleh pada nonanya yang duduk di belakang. Dia menawarkan nonanya untuk tidak masuk sekolah jika merasa tidak sehat. Namun Hanna tetaplah Hanna yang keras kepala. Dia tak menerima tawaran Yohan karena hari ini dia adalah murid baru.

“Paman—hatcu! Tolong matikan AC-nya” ucap Hanna sembari menutup mulutnya.

Yohan pun mematikan pendingin di mobil. Dia kembali menoleh dan menatap nonanya dengan khawatir. “Anda sungguh tak ingin pulang? Sepertinya Anda kurang sehat”

“Tidak, paman. Aku baik-baik saja, bersinku akan hilang nanti” tolak Hanna. Dia membuka tasnya sepeti sedang mencari sesuatu. Kemudian dia menatap kedua pengawalnya dan bertanya, “Apa kalian punya masker?”

“Saya punya, nona” jawab Adolf. Dia menghentikan mobilnya karena telah tiba di sekolah. Pria itu memberikan masker pada nonanya.

Hanna memakai masker itu dan masuk ke sekolahnya. Yohan menatap nonanya yang perlahan menghilang dari pandangannya. Sedangkan Adolf memperhatikan Yohan dengan aneh. Dia merasa sikap Yohan terlalu berlebihan pada nonanya akhir-akhir ini. Dia pun bertanya, “Hei, kau menyukai nona Hanna?”

Yohan menoleh mendengar pertanyaan temannya. Dia memalingkan wajahnya dan berkata, “Bicara apa kau? Cepat jalan”

“Aku mengatakan ini karena peduli padamu. Nona Hanna adalah putri Tuan Lio, jadi lebih kau buang jauh-jauh perasaanmu” ucap Adolf yang membuat Yohan hanya diam.

Bel telah berbunyi, tapi tak ada tanda-tanda pembelajaran akan dimulai. Hanna pun memilih untuk berjalan santai menyusuri koridor yang cukup sepi. Bersinnya telah berhenti sepuluh menit lalu. Dia merasa lebih baik setelah minum teh madu yang dia bawa dari rumah. Dia melepas jaketnya karena merasa gerah. Kemudian dia mengikatkan jaketnya ke pinggang karena risi dengan rok pendek yang dia kenakan.

Telinganya menangkap suara bising. Biasanya dia tidak akan peduli dengan hal seperti itu, tapi entah kenapa dia penasaran dan menghampiri suara bising tersebut. Ternyata ada dua anak yang dirundung. Satu lelaki dan satu perempuan, mereka sama-sama memiliki penampilan yang culun. Hanna mencoba mendengarkan anak-anak yang bergosip di kerumunan itu. Dia mengangkat kedua alisnya ketika mendengar bahwa kedua anak itu dirundung karena mereka bisa masuk sekolah elite ini lewat beasiswa dan jabatan ayahnya yang rendah. Hanna mengerutkan keningnya, bukankah itu hal yang bagus? Itu artinya mereka sangat pintar.

Salah satu dari anak yang sedang berkerumun itu terkejut melihat Hanna berdiri di belakangnya. Dia pun memberi jalan untuk Hanna. Lama-lama kerumunan itu terbuka untuk memberinya jalan. Hanna pun merasa bingung kenapa mereka seperti itu. Dia pun berjalan dengan santai melewati anak-anak itu dan berhenti tepat di dekat aksi perundung itu. Entah kenapa anggota tubuhnya bergerak sendiri tanpa diperintah otaknya. Tangannya bergerak mengangkat ponselnya dan memotret beberapa lelaki yang sedang memukuli dua anak itu.

Hanna, kau sudah gila? Apa yang sedang kau lakukan? Kau bisa mati nanti. Rautnya mungkin menampilkan wajah yang datar nan dingin saat memotret mereka, namun percayalah sebenarnya dia merutuki dirinya sendiri.

“Hei! Apa yang sedang kau lakukan?!” bentak lelaki yang sadar bahwa dirinya sedang dipotret. Dia melepas cengkeramannya pada lelaki berkacamata itu dan menghampiri Hanna.

LIO And His Daughter Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang