03. Es Krim

40 3 1
                                    

Kini Hanna dalam perjalanan menuju sekolahnya. Wajahnya telah masam di pagi hari. Kedua pengawalnya hanya tersenyum melihat ekspresi wajah nonanya. Pagi-pagi sudah menekuk wajah hanya karena hal sepele. Sebenarnya Hanna meminta pada ayahnya untuk berangkat sekolah sendiri, tapi sang ayah tidak mengizinkannya. Apalagi setelah terjadi sesuatu padanya waktu itu yang membuat dirinya pingsan. Lio pun semakin memperketat penjagaan terhadapnya. Dia bahkan memerintahkan pengawal untuk mewaspadai semua orang yang berada dalam radius tiga meter dari Hanna. Mengingat percakapannya dengan sang ayah pagi ini semakin membuatnya kesal.

Beberapa saat sebelumnya.

"Ayah, bolehkah aku berangkat sekolah sendiri?" tanya Hanna sembari memijat pundak sang ayah.

"Bagaimana kau akan berangkat?" tanya Lio yang tak habis pikir dengan cara Hanna merayu dirinya.

"Dengan mobilku. Ayah sendiri yang bilang mobil itu milikku" jawab Hanna dengan yakin.

"Kau belum bisa menyetir, bukan? Lagi pula kau masih di bawah umur"

"Bodoh kau, Hanna" gumam gadis itu yang bisa didengar sang ayah. Dia pun memikirkan cara lain untuk mendapat izin. Kemudian dia berkata, "Aku bisa naik taksi ke sekolah"

"Tidak, aku tak bisa mempercayakan putriku pada sopir taksi" jawab Lio yang membuat Hanna berdecak kesal.

Gadis itu kembali memikirkan cara lain yang bisa dia gunakan. "Ah! Kalau begitu aku akan berangkat menggunakan bus dengan teman-temanku"

Lio tersenyum sambil menoleh pada putrinya dan berkata, "Bukankah kau sendiri yang bilang bahwa kau belum memiliki teman, sayang?"

Kembali ke saat ini.

Hanna merasa sangat kesal, tapi untungnya dia telah memiliki rencana lain. Dia melihat sekelilingnya. Gadis itu sudah dekat dengan sekolahnya. Di depan sana gerbang sekolah sangat ramai. Dia melirik kedua pengawalnya.

"Tuan Adolf, awas!" pekiknya tiba-tiba.

Adolf pun langsung menginjak rem karena terkejut. Tak ingin melewatkan kesempatan emas, Hanna langsung membuka pintu mobil dan berlari menuju sekolahnya. Yohan pun keluar untuk mengejarnya. Setelah sampai di depan gerbang, Hanna berhenti dan berbalik menghadap Yohan yang akan menghampirinya. Dia segera mengisyaratkan  pada pria itu untuk berhenti karena dia sudah sampai dengan selamat di sekolahnya. Lalu dia pun melambaikan tangannya dan masuk ke sekolahnya. Yohan berhenti dan menghela nafasnya sambil menggelengkan kepalanya.

"Menjaganya lebih sulit daripada berperang" ucap Yohan yang masih terengah.

●●●

"Kudengar putrimu pingsan beberapa hari lalu" ucap pria tua yang merupakan orang yang sudah Lio anggap sebagai ayahnya.

"Ya, tuan. Mungkin dia hanya kelelahan" jawab Lio sembari menuangkan minuman di gelas pria itu. Dia tak mengatakan bahwa putrinya pingsan karena seseorang sengaja menyuntikkan obat-obatan.

"Banyak yang berkata sifatnya mirip denganmu. Sepertinya aku harus bertemu dengannya lain kali" ucap pria itu sambil tersenyum.

Pria itu adalah Paul Quintrell, orang terkaya pertama di negara ini. Dia telah mengenal Lio sejak pria itu masih belum menjadi apa-apa bagi dunia. Dialah yang menginvestasikan waktu dan uangnya untuk mendidik Lio hingga menjadi orang terkaya kedua. Paul sangat mempercayai Lio lebih dari dirinya mempercayai cucunya. Dia bahkan ingin memberi semua kekayaannya pada Lio jika suatu hari nanti dia meninggal.

"Aku sudah terlalu tua untuk mengurus semua perusahaanku" ucap Paul sembari menyandarkan punggungnya.

"Kalau begitu kenapa Anda tidak menyerahkannya pada cucu Anda?" ucap Lio karena dia ingat bahwa Paul memiliki cucu yang sangat disayanginya.

LIO And His Daughter Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang