29. Pelukan Hangat

1 0 0
                                    

[Semua karakter, tempat, organisasi, agama, dan kejadian dalam cerita ini adalah fiksi]

•••

Hari ini adalah hari yang sangat menyenangkan bagi Hanna karena dia telah pulang dari rumah sakit. Lega rasanya bisa menghirup udara bebas. Gadis itu memperhatikan rumahnya. Tak disangka ternyata dirinya memiliki rumah yang sangat besar. Kamarnya saja begitu luas hingga membuatnya bingung apa yang harus dia lakukan di kamar sebesar ini.

Hanna berjalan menjelajahi rumahnya. Dia sangat bosan karena ayahnya meninggalkannya sendiri di rumah. Sang ayah melarangnya untuk ikut dengan alasan dirinya harus beristirahat. Bukankah itu sungguh tidak adil? Bayangkan saja kau habiskan waktumu hanya untuk istirahat. Padahal dia sudah banyak beristirahat di rumah sakit.

Gadis itu mendengar suara tawa dari salah satu ruangan. Kakinya pun berjalan mendekati pintu ruangan itu dan membuka pintu dengan perlahan. Dilihatnya para pengawal yang langsung berdiri saat melihat dirinya. Matanya membulat karena terkejut. Dia tak tahu bahwa itu adalah ruangan istirahat untuk para pengawal.

“M—maaf, aku tidak berniat mengganggu waktu kalian,” ucapnya yang merasa tak enak.

“Tidak sama sekali, nona. Apa Anda membutuhkan sesuatu?” tanya Adolf.

“Tidak, silakan lanjutkan kegiatan kalian,” jawab Hanna sambil menggelengkan kepala.

Yohan memperhatikan nonanya dan sepertinya gadis itu sedang bosan. Dia pun berpamitan pada yang lain untuk menjaga Hanna setelah gadis itu pergi. Yohan mengikuti gadis itu dari belakang. Dia teringat kejadian dimana nonanya tertembak dan jatuh dari gedung. Itu benar-benar kejadian yang membuat jantungnya berhenti berdetak. Dia tak ingin kejadian yang sama terulang dua kali.

“Nona” panggilnya.

Hanna pun menoleh ke belakang lalu tersenyum. Rasanya pria itu menyelamatkannya dari rasa bosan. Dia pun bertanya, “Oh, paman. Ada apa?”

“Apa Anda sedang bosan?” tanya Yohan yang dibalas anggukan dari nonanya.

“Mau ke minimarket dengan saya?” sambungnya.

Hanna langsung menganggukkan kepalanya antusias. Yohan pun tersenyum tipis melihatnya. Mereka berjalan menuju minimarket setelah berpamitan pada Adolf. Sesampainya di minimarket, Hanna langsung mengambil dua es krim. Lalu mengambil beberapa makanan ringan dan mi instan kemudian membayarnya. Mereka pun kemudian keluar dari minimarket.

“Mi? Anda belum boleh memakannya, nona” ucap Yohan mengingatkan sang nona.

“Paman jangan bilang pada ayah” jawab Hanna sambil melihat isi kantung plastiknya. Dia memberikan salah satu es krim pada Yohan sebagai sogokan.

Yohan pun menerima es krim tersebut sambil tersenyum tipis. Dia memperhatikan nonanya yang mulai memakan es krim. Ternyata nona yang dia kenal tak pernah berubah. Masih kekanakan dan masih menyukai es krim. Dia harap mulai sekarang nonanya tak akan lagi kehilangan senyum dan tawanya.

“Paman, semalam aku bermimpi sangat aneh” ucap Hanna yang sedang menikmati es krimnya.

“Boleh saya tahu mimpi apa itu?” tanya Yohan penasaran.

Hanna berhenti berjalan dan diam beberapa saat. Kemudian dia menjawab, “Aku bermimpi sedang berada di suatu tempat dan mendengar ayah memanggilku lalu aku mendengar suara tembakan”

Tubuh Yohan menegang beberapa saat. Dia menatap nonanya penuh makna. Mimpi macam apa itu? Apakah ingatan nonanya telah kembali? Tapi kenapa harus ingatan buruk yang lebih dulu diingat gadis itu? Akan lebih baik jika gadis itu tak mengingat kejadian tragis itu. Hal itu bisa menjadi trauma bagi nonanya.

LIO And His Daughter Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang