A Dark Romance Story About Polyamorous and Open Relationship.
Adult Only | 21+
Jen Nera atau Je bekerja sebagai wanita BO demi tuntutan hidup. Ia lalu bertemu dengan Boy, lelaki berdarah Korea Selatan yang memikat hati. Dalam waktu singkat, Boy berh...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Booyah Park!" Vincent menatap Boy penuh amarah. Kedua mata lelaki bertubuh tegap itu berkilat membingkai hidung yang berkerut. "Jaga bicaramu," bentaknya. "Kamu pikir dari mana semua fasilitas mewah yang selama ini kamu dapatkan? Menempuh studi di luar negeri tanpa kekurangan satu apa pun, kamu pikir semua cuma-cuma, huh?!"
Boy bergeming.
"Kalau bukan berasal dari keluarga Park, kamu tak akan bisa mendapatkan itu semua, Boy," lanjut Vincent. "Kamu harusnya bersyukur karena terlahir sebagai Booyah Park; putra bungsu dari generasi ketiga keluarga Park, pemilik Busaraya Group. Banyak orang rela membunuh demi mendapatkan kehidupan sepertimu, seperti kita." Ia lalu mendekat dan memegang bahu sang adik. "Berapa lama lagi kamu akan mengulur ini? Kami tidak sabar menunggumu bergabung ke dalam perusahaan, Boy. Meneruskan kejayaan yang diwarisi oleh mendiang kakek dan ayah kita."
Kepala Boy tertunduk. Bibir lelaki itu masih membisu. Ia bukannya tak ingin menjalankan peran di Busaraya; tetapi untuk melakukan itu, ia diwajibkan menikah dengan tunangan yang sudah dipersiapkan.
"Kasih aku waktu untuk berpikir, Kak," kata Boy.
"Berapa lama? Satu bulan?" sahut Vincent.
"Satu tahun."
Vincent membeliak. "Satu tahun? Jangan bercanda, Boy!" Ia lalu mendengkus dan melayangkan sorot tajam. "Lima bulan! Tidak lebih dan tidak ada negosiasi lagi."
***
Jen Nera berdiri di sisi meja persegi panjang yang sudah dipenuhi piring berisi masakan buatannya. Ia menunggu seisi rumah bangun untuk menyantap sarapan. Jantung wanita itu sedikit berdebar; ia sudah mempersiapkan diri jika nanti Maria akan menyindirnya, atau lebih buruk lagi menghina habis-habisan.
"Ngapain kamu?" sapaan Maria membuyarkan Jen yang tertegun.
"Nunggu Budhe sama Pakde," sahut Jen.
Maria mengerutkan dahi. "Kamu biasanya kalau makan, kan, di dapur, ngapain nungguin kita? Sana, makan saja di belakang," usirnya.
"Bukan, Budhe. Aku di sini bukan buat makan bersama, tapi ada yang mau aku omongin."
"Soal apa?" Maria menarik kursi makan dan merebahkan bokong.
"Pagi."
Belum sempat Jen menjelaskan, suami Maria muncul dengan senyum terkulum. Tatapan lelaki itu pada Jen selalu sarat makna alias maksud terselubung.
Maria bergegas menyiapkan piring untuk sang suami. Dengan penuh perhatian wanita bertubuh berisi itu menuangkan kopi panas ke dalam cangkir Marcus, suaminya. Di lain sisi, atensi Marcus lekat tertuju pada Jen yang bergeming di dekat mereka.
"Kenapa, Jen?" selidik Marcus.
"Katanya dia mau bicara," sela Maria. Ia lantas beralih menatap Jen. "Mau ngomong apa kamu tadi?"