BAB 3. TURQUOISE

16 3 3
                                    

Perempuan itu berdiri menatap pantai yang berkilauan terkena cahaya matahari sore. Sosoknya sangat menangkap perhatian Vi karena gaun berwarna ungu yang dikenakannya berkibar diterpa angin laut dan sangat kontras di hadapan laut berwarna turquoise. Sedari tadi, perempuan itu hanya diam saja memandang laut. Ombak laut selatan yang kencang perlahan membasahi kaki dan gaunnya, membuatnya menjadi berwarna lebih gelap.

Pantai Parangtritis nampak lengang. Pantai yang berjarak kurang dari tiga puluh kilometer dari pusat Yogyakarta ini biasanya ramai pengunjung, baik wisatawan atau masyarakat lokal. Hadirnya berbagai objek wisata baru di Yogyakarta, termasuk berbagai beach club atau kafe kekinian di daerah pantai Gunungkidul, sepertinya membuat pengunjung Parangtritis sedikit menurun.

"Gimana, lebih happy setelah jalan-jalan keluar rumah?" Pertanyaan Sekar membuat Vi mengalihkan pandangannya dari perempuan itu. "Cara cepat untuk bisa lupa sama cinta lama itu ya ketemu cinta baru."

"Yah, Mbak Sekar. Lagi enak menikmati pantai, malah bahas mantan. Jadi ingat lagi, kan."

"Habisnya kamu bengong terus kalau nggak ada yang ngajak ngobrol. Pasti kamu ingat sama si Banyu, Bayu, atau siapalah namanya itu."

Enggan menjawab tebakan Sekar yang tentu saja benar, Vi mengedarkan pandangan ke arah pantai. Tampak sosok Fay dan Kresna yang perlahan menjauh. Fay yang suka membuat konten, memaksa Kresna untuk menjadi tripod manusia pribadinya dan mengajak lelaki malang itu berkeliaran membuat konten sedari tadi.

Seperti neneknya, Kresna adalah lelaki ramah dan mudah bergaul. Kresna baru saja menyelesaikan residensinya di salah satu rumah sakit di Jakarta dan memutuskan libur beberapa hari di Yogya sekaligus menengok Sekar. Sepanjang perjalanan, Kresna banyak bercerita tentang suka duka menjadi dokter. Sekar bangga sekali karena cucunya adalah dokter dan bisa membiayai pendidikannya sendiri karena orang tua Kresna sudah meninggal dunia saat Kresna remaja.

"Biru, Mbak, namanya Biru." Dengan geli Vi mengoreksi Sekar. Dia tahu Sekar ingat nama Biru tapi sengaja lupa supaya dirinya tersenyum.

"Sudah, lupakan saja lelaki itu. Masih banyak ikan lain di laut." Sekar melambaikan tangannya dengan berlebihan. "Kamu tuh ayu, pintar, masih muda. Pasti banyak ikan yang dengan suka rela datang sendiri untuk kamu tangkap."

Mau tak mau bibir Vi melengkung ke atas. Sepertinya hanya Sekar yang menganggap dirinya seperti itu. Ayah dan Ibu lebih suka membanggakan Hazel yang punya segudang prestasi akademik maupun non akademik, tubuh Hazel pun lebih sehat dan ramping dibandingkan Vi yang cenderung kurus dan sejak kecil sering sakit-sakitan. Terkadang Vi merasa bahwa mereka bukanlah saudara kembar karena penampilan, kondisi tubuh, bahkan nasib mereka jauh berbeda.

"Terima kasih, loh." Vi tertawa kecil. "Semoga aku yang seperti ini bisa segera dapat ikan baru, ya."

Mendengar jawaban Vi, Sekar mendengkus. "Kamu ini kenapa putus asa sekali seperti itu sih? Semua pasti ada jalannya, kalau kamu mau berusaha."

Bahu Vi terangkat sedikit sebelum dirinya menjawab, "Usaha seperti apa? Biru itu pacar dan cinta pertamaku. Dia yang mendekatiku duluan sampai aku bingung sendiri harus bagaimana. Lucu ya, anak-anak lain mungkin sudah berganti pacar sejak SMA, aku malah baru punya pacar pertama waktu kuliah." Vi tersenyum sedih. "Yah, saat SMA memang aku jarang bergaul, bagaimana caranya bisa dapat pacar. Masih untung aku bisa kuliah karena kondisiku lebih sehat dibandingkan pas SMA dulu."

"Hmmm....," Sekar mengangguk-anggukkan kepalanya. Ekspresinya menjadi sangat serius saat dirinya memandang Vi dari atas sampai bawah, membuat Vi bingung dan sedikit salah tingkah. "Aku sedih, cah ayu seperti kamu kok segitu tidak percaya dirinya? Ada apa di rumahmu sampai kamu seperti ini? Apa ibu bapakmu nggak pernah bilang kamu itu sangat pantas dicintai?"

Kecubung WunguTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang