"Cah Ayu, kamu sudah siap?" Pertanyaan itu membuat Vi mulai menyadari sekelilingnya. Bukan, ini bukan lagi ranjang empuk tempat dirinya tertidur setelah puas menangis tadi. Tidak lagi punya energi setelah semua drama itu, Vi terpaksa membatalkan janji dengan Fay dan memilih pulang ke rumah. Walau hanya ada Snowy yang menunggunya di rumah, setidaknya Vi bisa melampiaskan semua emosinya dengan bebas. Snowy nampaknya mengerti majikannya sedang butuh hiburan sehingga sedari tadi Snowy bergelung di dekat Vi dan mendengkur manja. Snowy tidak manja dan mengeong minta perhatian Vi seperti biasanya. Vi sendiri tidak sadar kapan dia tertidur sampai suara itu muncul.
"Kamu siapa?" tanya Vi pada perempuan berkebaya ungu yang perlahan muncul dari kegelapan. Kebaya ungu yang pas membalut tubuh, sanggul bermata kecubung, giwang ruby, wajah cantik tapi terkesan dingin; semuanya masihlah sama seperti yang diingat Vi. "Ini mimpi, bukan?"
"Terserah kamu mau menganggap ini mimpi atau bukan. Kamu bisa menganggap ini mimpi, kamu juga bisa menganggap ini nyata," jawab perempuan itu, yang bukannya mencerahkan tapi malah membuat Vi semakin bingung.
"Kamu siapa? Kenapa terus-menerus muncul?" Vi kembali bertanya dan menegaskan pertanyaan yang selama ini mengusiknya.
"Kamu yang memanggilku, Cah Ayu." Perempuan itu tersenyum manis. Bulu kuduk Vi merinding saat dirinya menyadari bahwa mata perempuan itu tidaklah semanis senyum di bibirnya. Mata perempuan itu malah begitu dingin dan menusuk. "Panggil aku Nyi Wungu."
"Kapan aku memanggilmu, Nyi Wungu?"
"Saat kamu menderita karena cinta, saat itulah kamu memanggilku." Nyi Wulung masih tersenyum dan semakin mendekati Vi. Masih takut, Vi perlahan mundur tapi Nyi Wulung terus melangkah maju mendekatinya.
"Kalau kamu adalah hasil halusinasiku, mungkin aku harus segera pergi ke psikolog," gumam Vi pada dirinya sendiri.
"Apakah halusinasi bisa membuat harapanmu menjadi kenyataan? Bukankah baru saja tadi kamu bilang mau berkorban untuk mendapatkan cinta yang kamu inginkan?" Bisikan Nyi Wulung membuat Vi teringat kembali pada kejadian memalukan hari itu.
"Aku bisa membuat semua itu menjadi kenyataan." Nyi Wulung menunjuk ke belakang Vi. "Kamu hanya perlu memilih apa yang mau kamu korbankan."
Dengan takut-takut, Vi membalikkan tubuhnya perlahan. Mata Vi terbelalak lebar saat melihat tiga sosok berdiri mematung di depannya. Fayra, Hazel, dan Rosa berdiri tanpa ekspresi. Mereka juga tidak menyahut saat Vi memanggil-manggil namanya dan mengguncang-guncangkan tubuhnya. Sama seperti saat pertama kalinya Vi bermimpi bertemu Nyi Wulung, pandangan mereka semua tampak kosong.
"Siapa yang kamu pilih, Cah Ayu?" bisik Nyi Wulung tepat di telinga Vi, membuat Vi terlonjak kaget.
"Pilih? Pilih untuk apa? Bagaimana aku mengorbankan mereka?" tanya Vi takut-takut.
"Kamu punya hubungan darah dengan perempuan ini." Nyi Wulung berjalan mendekati Hazel dan membelai pipinya.
"Kamu sangat menyayangi perempuan ini, lebih dari sayangmu pada saudara sedarah." Nyi Wulung mengelus rambut Fayra yang berdiri diam di sebelah Hazel.
"Kamu benci pada perempuan ini yang meremehkan dan membuatmu merasa seperti sudah merebut pacar orang." Nyi Wulung menyentuh bahu Rosa sekilas.
"Dari mereka semua, manakah yang akan kamu korbankan?" Nyi Wulung kembali mendekati Vi yang berdiri kebingungan.
"Pengorbanan apa yang Nyi maksud? Apakah pengorbanan nyawa?" Penuh ketakutan Vi berjalan mundur menjauhi Nyi Wulung.
Tawa membahana muncul dari bibir merah Nyi Wulung. "Bukankah kamu yang menganggap ini adalah mimpi? Jika ini mimpi, kamu bisa berbuat apapun yang kamu mau. Toh, ini adalah mimpi."
Perkataan Nyi Wulung membuat Vi ragu. Selama ini, hanya Vi yang merasa bertemu dengan perempuan yang mengaku bernama Nyi Wulung ini. Tidak ada yang pernah melihat Nyi Wulung. Bisa jadi ini adalah cara otak Vi untuk melindungi Vi dari luka hati yang bisa membuatnya gila.
"Kalau ini mimpi, aku bisa berbuat apapun? Tidak akan ada yang terluka di dunia nyata?"
"Sini, lampiaskan rasa kesal dan amarahmu pada mereka yang sudah menyakitimu," rayu Nyi Wulung saat melihat Vi mulai tergoda. Dengan perlahan, Nyi Wulung berjalan mendekat Vi yang memandang nanar pada sosok tiga perempuan di depannya.
"Aku tahu seberapa sakit hatimu. Aku ada di sini untuk membantumu. Jika setelah semua penderitaan itu kamu bisa mendapatkan cinta, bukankah itu hadiah yang pantas?"
"Cinta adalah hadiah yang pantas." Tanpa sadar, Vi mengikuti perkataan Nyi Wulung. Wajah Nyi Wulung semakin bersinar saat Vi sudah semakin jatuh dalam godaannya.
"Betul, Cah Ayu. Kamu hanya perlu memilih siapa yang kamu tidak suka dan kamu akan bisa mendapatkan cinta lelaki itu." Nyi Wulung menunjuk Rosa. "Bukankah aku sudah bilang kemarin bahwa lelaki itu punya perempuan lain? Apakah kamu mau menjadi perempuan satu-satunya bagi lelaki itu?"
"Perempuan satu-satunya," bisik Vi penuh pengharapan.
"Jadi, manakah yang kamu pilih? Perempuan yang sudah menyakiti hatimu hari ini?"
Tangan Vi perlahan terangkat. Dengan gemetar, Vi menunjuk Rosa. "Dia."
Nyi Wulung terkekeh gembira. "Silahkan lakukan apapun yang kamu mau, Cah Ayu."
Vi berjalan mendekati Rosa. Entah bagaimana, sebilah keris tergenggam di tangannya. Bukannya heran, Vi malah menatap keris hitam berlekuk tujuh dengan penih tekad. Tidak seperti keris yang biasa Vi lihat di museum atau film-film, keris itu begitu cantik dengan hiasan tujuh butir Opal hitam yang memancarkan kilau hitam disertai warna pelangi di gagangnya. Namun, batang keris yang hitam legam memberikan aura mencekam. Vi merasa keris itu seperti simbol dirinya yang terus berusaha memancarkan pesonanya walau tenggelam dalam kegelapan.
Vi berdiri di hadapan Rosa yang masih menatap kosong. Ingatan akan cibiran dan cemoohan Rosa tadi pagi mulai berkelebat di benak Vi. Tidak hanya itu, Vi teringat akan ledekan Rosa setiap kali sahabat Hazel itu menginap di rumah mereka. Beberapa kali Vi tidak sengaja mendengarkan Rosa meledeknya sebagai anak pungut karena jauh berbeda dengan adiknya saat mengobrol dengan Hazel di rumah. Hanya saja, Vi tidak berani membalas Rosa dan hanya bisa bersedih saat Hazel bukannya membela dirinya, tapi malah ikut tertawa dan membicarakan kejelekan Vi bersama Rosa.
"Aku pantas dicintai!" jerit Vi penuh amarah. Tangannya yang memegang keris terayun dan dihunjamkannya ke dada Rosa.
"Aku bukan perebut pacar orang!" Vi kembali menjerit dan menusuk Rosa yang masih bergeming.
"Aku bukan anak pungut! Memangnya kenapa kalau aku berbeda dengan Hazel?"
"Aku cantik! Aku sama cantiknya dengan Hazel! Aku sama berharganya dengan Hazel!"
Tikaman demi tikaman terus dihunjamkan Vi ke tubuh Rosa. Diteriakannya semua meneriakkan semua amarah dan kekesalannya. Suara saat keris itu perlahan masuk ke tubuh Rosa disertai dengan desis muncratan darah, semakin lama semakin terdengar seperti musik di telinga Vi. Tangannya berlumuran darah tapi Vi tidak lagi peduli. Yang dia pedulikan hanyalah luapan amarah yang begitu dalam dan tengah membuncah keluar. Toh, semua hanyalah mimpi. Jika ini bukan mimpi, tentu saja seharusnya Rosa sudah tergeletak tak bernyawa di lantai. Namun, Rosa hanya berdiri diam dan sedikit tersentak saat keris Vi menusuk tubuhnya. Berarti, ini semua adalah mimpi, bukan?
Waktu berlalu dan Vi akhirnya kelelahan. Tangannya gemetar bukan lagi karena ketakutan, tapi karena sudah tidak sanggup lagi mengangkat keris. Tubuh Rosa pun tampaknya sudah kehabisan tempat untuk ditancapkan keris. Tak sanggup lagi menahan lelah, Vi terhuyung dan jatuh ke lantai.
"Nikmati hadiahmu, Cah Ayu." Suara Nyi Wulung yang penuh kepuasan adalah hal terakhir yang diingat Vi sebelum semuanya menjadi gelap kembali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kecubung Wungu
TerrorDunia Violetta (Vi) hancur saat mengetahui Biru memutuskan hubungan dengan dirinya dan sudah punya kekasih lain. Saat pergi healing ke Yogya, Vi bertemu dan menjadi dekat dengan Sekar, perempuan tua yang tinggal di sebelah rumah sewaan Vi. Sekar men...