BAB 14. SUNSTONE

5 1 0
                                    

Vi menatap nanar pada satu bercak merah yang terdapat tepat di tengah seprei. Warna seprai yang putih bersih membuat bercak merah itu demikian menonjol. Dengan ragu, Vi menyentuh noda itu. Kering. Berarti noda itu sudah ada selama beberapa jam hingga tidak lagi terasa basah. Ada sesuatu yang menggelitik benak Vi. Sesuatu penting yang terlupakan karena euforia semalamnya. Vi duduk di pinggir ranjang sambil mencoba mengingat hal yang dilupakannya.

"Rosa!" Vi langsung pucat saat ingatan tentang Rosa menyeruak dan memudarkan malam indah yang dilaluinya bersama Adam. Rasa panas dan lengket saat Vi melayangkan tusukan demi tusukan itu kembali menghantui pikirannya. Vi teringat tubuh Rosa yang penuh tusukan dan bersimbah darah. Tangan Vi kembali terasa berat dan gemetar, persis seperti yang dirasakannya saat tangannya lelah dan tidak sanggup lagi mengangkat keris.

"Itu semua hanya mimpi!" tegas Vi. Tidak mungkin dia menusuk Rosa seperti itu di dunia nyata. Mengingat mata kosong Rosa yang tidak menunjukkan ekspresi apapun saat keris Vi menghunjam tubuhnya, Vi berpikir kalau benar dia menusuk Rosa, mana mungkin Rosa diam saja tanpa perlawanan seperti itu? Dia juga tidak punya kontak Rosa, jadi bagaimana mungkin dia bisa menemui Rosa dan melakukan perbuatan keji itu? Kalau begitu, bercak darah apa ini yang ada di ranjangnya. Menstruasinya sudah terjadi di awal bulan lalu, sehingga tidak mungkin ini adalah noda darah menstruasi. Lagi pula, malam kemarin dia bersama Adam.

Pandangan Vi jatuh menuju ke keranjang baju kotor di samping pintu kamar mandi. Aneh, kemarin bukan hari mencuci pakaian. Biasanya pakaian kotor sudah menumpuk di keranjang itu. Pembantu mereka biasanya mencucikan baju dua kali dalam seminggu, tapi mengapa keranjang itu kosong?

Dengan takut, Vi berjalan menuju keranjang baju kotor. Kosong. Tidak ada satu pun pakaian di dalamnya. Vi bergegas keluar kamar dan menuju ke ruangan cuci. Napasnya tercekat saat melihat semua pakaiannya tertata rapi di jemuran. Siapa yang mencucinya?

Vi menggeleng-gelengkan kepala. Siapa yang mencuci bajunya bukanlah urusan penting. Lebih penting mencari tahu noda merah apa itu di spreinya. Vi menolak memikirkan bahwa itu adalah noda darah. Bisa jadi Vi atau seseorang menumpahkan saus tomat ke sprei. Hal yang lebih penting adalah VI harus mengkonfirmasi bahwa Rosa masih hidup dan selamat.

"Hazel! Lo udah bangun?" Vi menggedor-gedor pintu kamar Hazel. Tidak mungkln Vi bisa menunggu sampai hari terang dan pergi ke kampus hanya untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa Rosa baik-baik saja. Lebih baik Hazel saja yang mengeceknya.

"Duh, ada apaan pagi-pagi?" Hazel menggerutu sebal saat membuka pintu. Wajahnya masih tampak sangat mengantuk. "Apa?"

"Lo bisa kontak Rosa?" tanya Vi cepat. "Gue harus tahu dia baik-baik saja apa enggak!"

"Buat apa lo tahu kondisi dia?" Hazel menatap Vi curiga. "Lo bukan temen dia, lo nggak jarang ngobrol sama dia. Buat apa?"

"Ah, nggak penting buat apa!" sembur Vi mulai kesal. Tidak bisakah Hazel langsung menuruti permintaannya tanpa sejuta pertanyaan dan alasan penolakan? "Lo bisa kontak dia, nggak?"

"Nggak bisa!" Hazel balas berteriak, membuat Vi langsung panik. "Udah, ah. Lo aneh dan nggak penting banget, sih! Gue mau tidur lagi aja!"

Vi menyambar tangan Hazel yang bergerak hendak menutup pintu kamarnya kembali. "Hazel! Apa maksudnya lo nggak bisa kontak Rosa? Rosa nggak baik-baik saja? Rosa kenapa?"

Hazel mengibaskan tangan Vi yang memegangnya. "Dia lagi cruise, nggak bisa dihubungin karena sinyal susah. Udah? Puas?" Hazel membanting pintu hingga tertutup, meninggalkan Vi sendirian di koridor.

Dengan linglung, Vi kembali ke kamarnya. Ditatapnya lagi noda merah di sprei. Memutuskan bahwa noda itu bisa berasal dari mana saja, Vi melempar bantal dan gulingnya ke lantai. Lebih baik digantinya saja sprei itu daripada menimbulkan berbagai pertanyaan tidak penting dan kekhawatiran berlebih. Setelah mengganti sprei dengan seperti baru dan melemparkan semua sprei serta sarung bantal guling ke keranjang cucian, barulah Vi menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang. Kantuk langsung menyergapnya begitu kepala Vi menyentuh bantal.

Bunyi alarm yang ternyata sempat dipasangnya membangunkan Vi dari tidur. Tangan Vi meraba-raba nakas mencari ponselnya. Dengan mata masih setengah tertutup, Vi mengecek jam di ponsel. Masih ada waktu sebelum kelas pertama. Walau hanya tidur lagi dua jam, Vi merasa cukup segar.

Sambil meregangkan tubuhnya, Vi mulai mengecek pesan yang masuk. Ada beberapa pesan dari Fay di Whatsapp dan Instagram. Bocah satu itu memang senang sekali menghubunginya di berbagai media sosial untuk membicarakan hal yang berbeda. Vi tersenyum senang saat melihat pesan dari Adam.

[Morning, my beautiful lover. Kenapa kamu menghilang dari sampingku?]

[Aku kangen, rasanya sepi sekali sendirian di sini.]

[Kita ketemuan lagi nanti, ya.]

Sepertinya Vi harus memanfaatkan waktu yang tersisa sebelum mulai kuliah untuk membeli baju baru. Vi ingin Adam kembali menatapnya dengan kagum. Vi ingin Biru melihatnya tampak cantik dan bersinar di samping Adam. Vi ingin Biru menatap Adam dengan iri karena bisa bersama Vi yang sekarang jauh lebih cantik daripada dulu.

Sekelebat ingatan tentang Rosa muncul di benak Vi. Namun, teringat perkataan Hazel bahwa Rosa baik-baik saja dan sedang liburan di cruise, Vi mengenyahkan pikiran buruk tentang Rosa. Semua hanyalah bunga tidur saja. Mungkin yang Vi butuhkan selama ini adalah rasa lebih percaya diri untuk berusah mendapatkan apa yang dia mau. Yah, walaupun sebenarnya Adam bukan lelaki yang sungguh diinginkannya. Adam hanyalah simbol bahwa Vi bukan lagi Vi yang diam saja dan menyingkir saat ada seseorang yang merebut miliknya. Fay harusnya bangga pada Vi karena akhirnya Vi bisa berdiri untuk dirinya sendiri.

Setelah mandi dan berdandan, Vi memilih gaun terusan berwarna hitam untuk menonjolkan kalung dengan liontin sunstone oranye yang dikenakannya. Warna dan energi hangat dari sunstone membuat Vi merasa lebih positif dan bisa melakukan apapun. Memutuskan untuk mampir sebentar untuk sarapan dan minum kopi di kafe kesayangannya, Vi meninggalkan rumah walau jam kuliahnya masih lama.

Sebelum membuka pintu depan, Vi melirik ke cermin yang ada di dinding dekat pintu. Tampak Nyi Wungu berdiri di sana dengan anggun. Kali ini, Nyi Wungu tidak mengenakan kebaya ungu seperti biasa. Tubuh berlekuknya dibalut mini dress berwarna hitam, mirip seperti yang dikenakan Vi, hanya saja lebih pendek dan seksi. Kalung dengan liontin kecubung melingkar di leher jenjangnya. Nyi Wungu melambaikan tangannya ke arah Vi. Di jarinya, tersemat cincin kecubung yang sama yang ada di jari manis Vi.

Namun, Vi tidak lagi takut atau khawatir. Semua itu hanyalah halusinasinya saja. Mungkin seharusnya dia bertemu dengan psikolog atau psikiater untuk mengecek apakah dia punya gejala skizofrenia dan mencari cara untuk mengobati penyakitnya. Halusinasi ini semakin lama semakin terasa nyata. Tapi, bukankah orang gila tidak akan mengakui dirinya gila? Apalagi mencari pengobatan sendiri. Mengingat Vi masih bisa memikirkan nama penyakit mental yang mungkin dideritanya, ini berarti Vi tidak gila, bukan?  

Kecubung WunguTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang