BAB 19. JADE

9 2 0
                                    

Vi kembali terbangun di tempat asing. Tidak, ini bukan tempat yang asing baginya. Vi mengenali rak penuh buku di seberang tempat tidur. Vi pernah juga mengerjakan tugas di meja yang menghadap ke pemandangan kota di pojok kamar sana. Ornamen Jade berbentuk lotus yang terpajang di rak paling atas itu adalah hadiahnya. Bahkan, aroma khas yang menyelimuti ranjang yang ditidurinya begitu familier.

Berharap ini semua nyata dan sesuai dengan apa yang dipikirkannya, pelan-pelan Vi menoleh ke arah kanan. Seruan kecil meluncur dari bibir Vi saat melihat sosok yang begitu dirindukannya.

"Biru?" tanya Vi yang masih tidak percaya dengan matanya sendiri. Mata Biru terpejam dan dengkuran kecil terdengar dari bibirnya. Rambut gondrong Biru tergerai acak-acakan di atas bantal. Ditambah dengan selimut setengah badan yang menyelimutinya, rahang kokoh dengan bayangan biru janggut yang baru dipotong klimis lalu mulai tumbuh lagi, membuat Biru tampak begitu seksi dan menggoda.

Potongan-potongan peristiwa yang baru saja terjadi berkelebat di benak Vi. Mendapatkan keberanian entah dari mana, Vi datang ke apartemen Biru. Saat bertemu Vi, Biru bersikap seperti tidak pernah terjadi apa-apa dalam hubungan mereka. Biru seperti lupa bawah mereka sudah putus hubungan. Biru menyambut Vi dengan ceria.

Vi bahagia. Biru sudah menjadi Biru yang dulu lagi. Biru yang begitu manis dan selalu mendengarkan cerita Vi. Biru yang membuat Vi nyaman dengan pelukannya. Biru yang membuat jantung Vi berdebar-debar saat menciumnya. Biru sudah kembali menjadi miliknya!

Tidak tahan lagi memendam luapan perasaannya, Vi mendaratkan ciuman demi ciuman ke pipi Biru.

"Hm," desah Biru yang mulai terbangun. Matanya perlahan terbuka menatap Vi.

"Biru?" Vi hanya bisa mengucapkan satu kata itu terus menerus. Dia sudah kehabisan kata untuk mengungkapkan apa yang berkecamuk di hatinya. Vi sudah terlalu senang berada bersama Biru saat ini.

"Kenapa, Sayangku?" Pertanyan yang dilontarkan Biru membuat Vi bagai melayang di angkasa. Biru memanggilnya sayang! Sudah berapa lama Vi merindukan panggilan itu?

"Nggak apa-apa, aku cuma kangen." Vi akhirnya bisa menemukan suaranya kembali. Hati Vi seperti hendak meledak saat Biru tersenyum dan menariknya ke dalam pelukannya.

"Aku ada di sini, kamu kangen sama siapa?" Biru menjawil hidung VI pelan. "Hayo, kangen sama lelaki yang mana?"

"Aku cuma kangen sama kamu." Air mata mulai membasahi mata Vi. Jika ini adalah mimpi, semoga dia tidak akan pernah bangun lagi.

"Kamu aneh." Biru tertawa geli mendengar Vi. "Kamu seperti habis pergi jauh dan lama sekali. Sekarang, kamu sedang balas dendam karena nggak bisa ketemu dan kangen-kangenan kayak sekarang."

Vi diam saja tidak mau merusak suasana dengan membenarkan perkataan Biru. Bukankah sudah beberapa bulan mereka putus hubungan? Wajar saja jika Vi begitu kangen dengan Biru. Vi tidak tahu apakah dirinya harus bersyukur atau tidak karena Biru tidak ingat mereka pernah berpisah.

"Besok hari Sabtu. Kamu menginap di sini, kan?" Biru mengecup kening Vi penuh kasih sayang.

"Menginap?" tanya Vi sedikit ragu. Dia tidak pernah menginap di apartemen Biru. Namun, mengingat dia beberapa kali menghabiskan malam dengan lelaki lain, bukankah konyol jika dia tidak menginap di apartemen satu-satunya lelaki yang dicintainya?

"Aku nggak bawa baju apapun, tapi aku ingin menginap di sini."

"Tenang saja, kamu bisa pakai bajuku dulu besok. Kalau kamu mau, kita bisa belanja di mall bawah juga." Apartemen Biru memang tersambung dengan salah satu pusat perbelanjaan, sehingga sebenarnya mudah untuk mencari apapun yang Vi butuhkan.

"Lagian, kita nggak akan pergi ke mana-mana. Nggak tahu kenapa aku juga kangen banget sama kamu. Apa jangan-jangan kita memang habis jauh-jauhan?" Biru memeluk tubuh Vi erat. Matanya menerawang jauh saat dirinya mencoba mengingat hal yang sepertinya penting tapi tidak bisa diingatnya.

Vi mendongakkan kepalanya dan rasa takut menyergap hatinya melihat Biru yang tenhah berpikir keras. Tidak ingin Biru kembali teringat pada hubungan mereka yang pernah terpisah, Vi melancarkan serangan khusus. Dikecupnya dada Biru yang telanjang. "Jangan mikir yang berat-berat. Nikmati saja yang ada."

Sorot mata Biru kembali dipenuhi kasih sayang saat dirinya menatap Vi yang terus menhujani dadanya dengan ciuman. "Vi, kamu nakal ya sekarang?"

"Aku cuma nakal sama kamu," desah Vi sembari mengedip-ngedipkan matanya menggoda. White lie, tapi Biru tidak perlu tahu. Jika Biru seperti kehilangan ingatan dari beberapa bulan hidupnya, maka Vi juga rela kehilangan ingatan akan beberapa bulan dirinya tanpa Biru. Vi bergidik saat mengingat banyak hal yang pernah dilakukannya dengan lelaki lain. Tapi, mungkin Biru juga melakukan hal yang sama dengan Anjani. Jadi, mereka satu sama.

"Dingin?" Biru mengusap-usap punggung Vi saat dia merasa tubuh Vi bergidik. "Mau Abang hangatkan?"

"Mau!" Vi menyambut kecupan dari Biru yang kemudian menjadi semakin dalam. Malam pun mereka habiskan dengan mereguk cinta dan memenuhi kamar dengan desahan.

Vi terbangun dari tidurnya nyenyaknya untuk kesekian kalinya malam itu saat telinganya lamat-lamat mendengar suara getaran ponselnya. Dengan masih mengantuk, Vi menggeser tubuhnya yang masih berada di pelukan Biru supaya bisa menggapai ponselnya di atas nakas. Siapa sih yang menelponnya terus-menerus seperti ini?

Vi menatap nama yang tertera di layar ponsel. Hazel? Ada apa dengan adiknya ini? Waktu masih menunjukkan jam tiga dini hari. Kenapa Hazel meneleponnya? Rasa kantuk Vi langsung hilang.

"Halo?"

"Vi! Lo di mana!" suara Hazel di seberang sana terdengar panik. "Vi, tolong bantuin gue!"

"Hazel? Kenapa? Ada apa? Lo di mana?" Vi jadi ikut panik mendengar suara Hazel. Di sebelahnya, Biru ikut terbangun. Vi meletakkan jarinya di bibir, tanda supaya Biru diam saja. Biru menganggukkan kepalanya dan menunggu dengan sabar.

"Gue lagi di rumah Rosa. Dia...dia...meninggal!" kata Hazel sambil menangis tersedu-sedu. "Gue nggak kuat pulang sendiri ke rumah. Lo bisa jemput gue?"

Rosa? Meninggal? Bukannya kata Hazel dia sedang libur panjang?

Hati Vi mencelus. Ponsel yang dipegangnya tergelincir begitu saja dari tangannya. Tidak sengaja, mata Vi terarah ke cermin di dekat pintu kamar. Samar-samar, Vi melihat bayangan Nyi Wulung dengan kebaya ungunya yang khas di sana. Ada satu sosok lagi di dalam bayangan cermin tapi Vi tidak bisa melihatnya dengan jelas. Bagaikan terhipnotis, Vi menyingkapkan selimut dan berjalan ke arah cermin. Tidak dipedulikannya Biru yang bingung dan memanggil-manggil namanya.

Vi menutup mulutnya dengan ngeri saat dirinya mengenali sosok bersimbah darah yang bersimpuh di kaki Nyi Wulung. Rosa!

Kecubung WunguTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang