BAB 20. SMOKY QUARTZ

13 1 0
                                    

Vi melalui pagi hari itu seperti orang linglung. Jika tidak ada Biru yang terus menemaninya, mungkin Vi sudah terpuruk di pinggir got entah di mana. Untunglah Biru dengan sigap menangkap ponsel Vi yang terjatuh dan menanyakan langsung pada Hazel hal-hal yang perlu dilakukannya. Tanpa banyak bicara, Biru membantu Vi berpakaian dan mengantarnya ke rumah Rosa. Sepanjang perjalanan ke rumah Rosa, Vi hanya terdiam. Pikiran Vi terus mengulang kembali apa yang dilihatnya di cermin.

Sesampainya di rumah Rosa, isak tangis keluarga Rosa dan Hazel menyambutnya. Belum lagi kotak jenazah yang tampak begitu menyeramkan di tengah ruangan. Semua itu membuat hatinya seperti tersayat-sayat. Biru yang membimbing Vi untuk mengucapkan salam duka cita kepada keluarga Rosa. Vi hanya membeo semua ucapan Biru karena Vi tidak tahu harus berkata apa.

Biru juga yang dengan sigap membawa Vi untuk duduk di samping Hazel yang asih menangisi kepergian sahabatnya itu. Vi tidak menangis, tapi hatinya terasa kosong. Vi hanya bisa menunggu Biru yang entah bagaimana malah jadi ikut membantu keluarga Rosa menyambut pelayat. Samar-samar, Vi mendengar kejadian naas yang menimpa Rosa. Ternyata, selama ini Rosa tidak pergi liburan. Mayatnya baru saja ditemukan malam itu. Pikiran Vi menjadi lebih kalut saat mengetahui Rosa meninggal akibat belasan luka tusukan di tubuhnya. Saat ini keluarga Rosa tengah berdebat dengan aparat berwenang apakah tubuh Rosa akan langsung dikebumikan atau boleh diautopsi terlebih dahulu karena Rosa adalah korban pembunuhan.

Secara logika, Vi tidak bisa mencerna mengapa tidak ada seorang pun yang menyadari bahwa Rosa hilang? Bahkan Hazel, sahabat baiknya, selalu bersikeras bahwa Rosa baik-baik saja dan tidak ada masalah setiap kali Vi menanyakan kabar Rosa. Bagaimana Rosa tiba-tiba terbunuh? Bukankah aneh jika Hazel tidak panik saat Rosa menghilang beberapa hari? Apakah Hazel sungguh tidak tahu Rosa menghilang atau ada hal lain yang dia tutupi? Vi mengangkat tangannya dengan gemetar. Bukankah semua kejadian dalam mimpinya itu hanyalah halusinasi? Bagaimana bisa Rosa ditemukan meninggal dengan kondisi yang sama seperti yang Vi lihat di mimpinya? Apakah ini semua hanya kebetulan saja?

Setelah menghabiskan waktu yang lamanya seperti satu abad, Vi dan Hazel akhirnya kembali ke rumah mereka. Tentu saja dengan Biru yang membawa kedua bersaudari itu kembali degan selamat ke rumah. Biru juga yang menggandeng Vi dan Hazel masuk ke dalam rumah. Setelah mengantarkan Hazel yang masih tampak sangat terpukul dan beberapa kali terlihat hampir pingsan masuk ke dalam kamarnya, barulah Biru membimbing Vi masuk ke ke kamarnya. Biru bingung melihat Vi yang seperti sangat terpukul dengan kematian Rosa. Bukankah Rosa adalah sahabat Hazel? Jika itu Fay yang ditemukan meninggal, wajar jika Vi seperti ini.

"Vi, kamu mau aku buatkan teh?" tanya Biru pelan-pelan sambil membawa Vi duduk di ranjangnya.

"Teh?" tanya Vi mengulang pertanyaan Biru. Teringat teh yang diminumnya di mimpi kemarin, mendadak Vi merasa mual dan langsung berlari ke kamar mandi. Dimuntahkannya semua isi perutnya. Vi sudah tidak tahu lagi apakah teh itu halusinasi belaka ataukah nyata.

"Kamu kenapa?" tanya Biru khawatir. Diusap-usapnya punggung Vi yang masih terus muntah walaupun sudah tidak ada lagi yang bisa dia muntahkan selain air liurnya sendiri. Perlahan, BIru menarik Vi berdiri dan membiarkan perempuan itu bersandar padanya. Dipapahnya Vi menuju ke wastafel dan dengan hati-hati Biru membantu Vi membersihkan wajahnya. Biru bingung harus berbuat apa lagi untuk membantu Vi.

"Apa yang bisa aku lakukan?" Biru kembali bertanya pada Vi saat mereka sudah berhasil kembali ke ranjang. Biru ikut membaringkan tubuhnya dan secara otomatis Vi berguling masuk ke dalam pelukan Biru. Entah berapa lama mereka berdiam diri dalam posisi seperti itu. Biru hanya bisa terus mengelus rambut Vi dan sesekali mengecup keningnya.

"Peluk aku." Vi berkata lirih setelah berhasil mengumpulkan sedikit kekuatannya. "Aku hanya ingin dipeluk olehmu."

Pelukan Biru bertambah erat. Elusan tangan Biru juga membuat hati Vi perlahan semakin tenang. Tanpa sadar, Vi tertidur dalam pelukan Biru. Beberapa kali Vi menjerit kecil, membuat Biru kebingungan. Namun, begitu Biru menenangkan Vi dengan suara lembutnya, Vi bisa langsung tenang kembali.

Suara getaran ponsel lagi-lagi membangunkan Vi dari tidur gelisahnya. Saat meraba nakas di sampingnya, ternyata bukan ponsel Vi yang bergetar. Tangan Biru ikut terulur untuk mengambil ponsel miliknya yang tergeletak di sebelah ponsel Vi.

"Halo?" tanya Biru dengan suara masih mengantuk. "Anjani?"

Napas Vi tercekat saat mendengar Biru menyebut nama Anjani. Apakah Biru akan kembali pada Anjani dan meninggalkannya begitu saja?

"Masa? Ngg, gue nggak ingat. Maaf, sekarang gue lagi ada urusan penting. Bye!" Biru menutup pembicaraan dan melempar ponselnya kembali ke nakas. Alis Vi terangkat naik saat menyadari bahwa Biru akan tetap di sisinya malam ini. Diam-diam, hati Vi terasa lebih ringan saat sadar bahwa Biru memilih dirinya. Vi juga lega bahwa Anjani baik-baik saja. Sungguh, Vi takut Anjani akan meninggal dunia seperti Rosa. Entah apakah semua itu kebetulan belaka atau Rosa sungguh menjadi korban Vi untuk mendapatkan Adam.

"Vi, kamu sudah bangun?" tanya Biru lembut. "Maaf ya aku jadi bikin kamu bangun."

Sesungguhnya Vi ingin terus berpura-pura tidur sehingga dirinya bisa tetap dipeluk Biru seperti ini. Tapi, ketakutannya tidak terbukti. Biru tetap menjadi miliknya sehingga seharusnya dia bisa terus menikmati masa-masa seperti ini, bukan? Vi menggeleng-gelengkan kepalanya, yang sesungguhnya malah menunjukkan bahwa dirinya sudah bangun. Biru tertawa kecil dan kembali memeluk Vi erat.

"Aku akan ada di sini, Vi," lirih Biru yang membuat air mata kembali tergenang di mata Vi. Apakah ini mimpi? Apakah Vi berhasil mendapatkan Biru kembali setelah mengorbankan Rosa? Vi tidak tahu dan tidak mau tahu. Hal terpenting saat ini adalah Biru ada di sisinya seperti dulu.

Suara getaran ponsel kembali terdengar. Vi masih bergeming sementara Biru mengulurkan tangannya untuk mengecek ponselnya.

"Vi, ponsel kamu yang bunyi. Mau dibiarkan saja?" tanya Biru masih dengan suara lembutnya. "Dari Adam."

Mendengar perkataan Biru, mata Vi langsung terbuka lebar. Adam? Kenapa Adam mencarinya? 

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 10 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kecubung WunguTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang