BAB 1. RUBY

84 12 4
                                    

Tidak ada cinta yang abadi. Lalu, jika cinta begitu mudah berubah, untuk apa jatuh cinta?

Seharusnya taman ini penuh dengan kenangan indah. Di taman ini Vi sering berjalan-jalan bersama Biru seusai kuliah. Mereka saling berbagi cerita dan berdebat konyol tentang restoran apa yang hendak mereka datangi atau film apa yang mereka tonton. Di taman ini pula Biru untuk pertama kalinya menggandeng erat tangan Vi. Namun, mengapa Biru memilih taman ini untuk mengakhiri semuanya?

"Biru." Nama itu terasa begitu pahit di lidah Vi. Hati Vi berat. Dihembuskannya napas perlahan sebelum dengan lirih Vi bertanya, "Apakah kita harus berakhir seperti ini?"

"Maafkan aku, Vi." Biru mengulaskan sekilas senyum sedih. "Keputusanku sudah bulat. Aku tidak bisa lagi mencintaimu. Kamu berhak bersama orang lain yang bisa lebih mencintaimu."

"Biru, jangan pergi!" Vi terus memohon dengan suara bergetar. "Aku mencintaimu!"

"Aku sudah mencintai perempuan lain." Biru menjawab dingin. Wajah tampan dan penuh kehangatan yang selama ini begitu dekat di hati Vi, perlahan berpaling.

Kini kehangatan itu ditujukannya pada seorang perempuan cantik yang berdiri di samping Biru. Hati Vi hancur berkeping saat Biru menggenggam tangan perempuan itu dan mengecupnya. Bukannya itu hal yang biasanya Biru lakukan padanya sambil berbisik lirih bahwa dia mencintainya? Kenapa Biru kini melakukan hal itu pada perempuan lain?

"Biru!" Vi terus menjerit memanggil Biru yang berjalan menjauh. Suaranya semakin pecah saat Biru tidak berpaling sedikit pun. "Tidak, jangan tinggalkan aku! Biru, aku mencintaimu!"

Tidak kuat menahan rasa sedih yang begitu berat, Vi perlahan duduk di lantai dan menutup wajahnya. Vi tidak ingin melihat bagaimana Biru berjalan bergandengan penuh kemesraan dengan perempuan lain. Bagaimana bisa Biru membuangnya begitu saja saat mereka baru saja menjalin hubungan kurang dari setengah tahun? Apakah cinta bisa dengan mudahnya menguap?

Lamat-lamat, telinga Vi mendengar alunan tembang Jawa tapi tidak dipedulikannya. Tidak juga terbersit dalam pikiran Vi mengapa ada tembang Jawa yang diputar di taman kampus yang jauh dari gedung perkuliahan. Bahkan ketika taman itu perlahan menghilang dan menjadi ruangan gelap pekat, Vi masih saja menangis tersedu dan tidak peduli apapun yang terjadi di sekitarnya.

"Cah ayu, wong lanang ora perlu ditangisi." Suara seorang perempuan membuat Vi terlonjak kaget. Di hadapannya, berdiri seorang perempuan muda mengenakan kebaya ungu. Vi tidak pernah melihat perempuan ini sebelumnya. Perempuan itu cantik, wajah mungil dengan hidung bangir, bibirnya penuh dan merekah merah menggoda, mata berbentuk almond dipayungi sepasang alis tebal. Rambut hitam legamnya disanggul dan dihiasi beberapa tusuk sanggul bermata kecubung, sementara sepasang giwang dari ruby menghiasi telinganya. Semua itu membuatnya tampak bak putri keraton.

"Ah, maaf aku tidak bisa Bahasa Jawa." Vi lahir dan besar di Jakarta. Ibunya adalah orang Jawa sementara ayahnya berasa dari tanah Sunda. Keduanya jarang sekali menggunakan bahasa daerah di rumah. Tak heran jika Vi sama sekali tidak mengerti apa yang dikatakan perempuan itu.

"Tidak usah menangisi lelaki." Perempuan itu mengulangi perkataannya dalam Bahasa Indonesia. Diulurkannya tangan dengan jemari dicat merah sama seperti giwang bloody ruby di telinganya pada Vi. Walau bingung dengan sosok perempuan itu, Vi menyambut tangan itu dan berdiri.

Dengan sedikit heran, Vi baru menyadari bahwa dirinya tidak lagi berada di taman. Jadi, di manakah ini? Bulu kuduk Vi meremang saat telinganya mulai menangkap suara gamelan dan tembang Jawa yang mengalun lembut. Wangi bunga yang menyengat pun mampir ke penciuman Vi, membuatnya sedikit terbatuk. Di manakah dia berada?

"Kamu mau lelaki itu, toh?" Pandangan Vi mengikuti arah yang ditunjuk oleh perempuan itu.

"Biru," panggil Vi tercekat saat melihat Biru berdiri di hadapannya. Namun, Biru tidak memberikan respon apapun atas panggilan Vi. Mata Biru tampak kosong. Biru juga tidak menunjukkan respon apapun saat Vi memanggil dan menggoyang-goyangkan tangannya di hadapan Biru. Lelaki pujaan Vi yang baru saja mematahkan hatinya, hanya berdiri diam.

Kecubung WunguTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang