BAB 16. CARNELIAN

6 1 0
                                    

Kejadian yang menurut Fay aneh itu ternyata tidak terjadi hanya di hari itu saja. Sudah beberapa hari Fay menjadi saksi betapa Vi kini menjadi idola lelaki. Banyak sekali yang mendatangi Vi dan mengajaknya berkencan. Banyak pula yang meminta tolong Fay untuk dikenalkan lebih dekat dengan Vi. Semua ini membuat Fay semakin bingung dengan apa yang terjadi.

Gara-gara itu semua pula, mulai beredar gosip miring mengenai Vi. Seperti biasa, tentu saja ada beberapa perempuan nyinyir yang merasa Vi terlalu genit. Ada pula yang menyebut Vi sebagai perempuan haus lelaki setelah dicampakkan oleh Biru. Semua ini membuat Fay gerah dan ingin menoyor semua perempuan itu satu per satu, tapi tentu saja itu tidak mungkin terjadi.

Herannya, Vi tidak menunjukkan bahwa dirinya bermasalah diterpa gosip seperti itu. Vi masih saja santai dan sesekali meladeni lelaki yang mendekatinya. Sejauh ini, Fay melihat bahwa hanya Adam, Erwin, dan Bruno yang lebih sering Vi temui dibandingkan dengan lelaki-lelaki lain. Fay lebih heran lagi karena Vi tidak merasa dirinya pacaran dengan salah satu dari mereka. Vi yang dulu maju mundur menerima cinta Biru, kini dengan entengnya menerima cinta lelaki-lelaki itu.

"Vi, hari ini lo jadi pergi sama gue, kan?" tanya Fay ragu. Dengan situasi yang terjadi saat ini, Fay tidak tahu apakah dirinya masih bisa sering bersama Vi atau tidak. Sudah beberapa kali Vi membatalkan janji dengan Fay dengan alasan hendak berkencan. "Sebentar lagi nyokap gue ultah. Bantuin gue cari kado, ya?"

"Iya, iya gue inget." Vi kembali memulas bibirnya yang kini lebih sering mengenakan lipstik merah bata. Aksen oranye di bibir Vi yang mirip dengan anting Carnelian tergantung cantik di telinganya, berpadu sempurna dengan atasan pas badan berwarna ungu tua dan jegging yang dikenakannya. Vi pun kini tak lagi mengenakan sneaker usang yang sepertinya tidak pernah dicuci. Sandal wedges atau sneakers dengan platform tinggi menjadi favorit Vi sekarang. Semua itu memberi kesan tubuh yang kurus langsing, bukan hanya sekedar kurus. Kini Vi tidak lagi menyembunyikan tubuhnya. Walau tidak berlekuk bak gitar, Vi kini pandai menonjolkan aset yang dimilikinya. Seperti hari ini, syal kecil yang terbuhul rapi di lehernya membuat Vi tampak memiliki leher jenjang dan membuatnya tampak semakin elegan.

Setelah puas memandang refleksi dirinya di cermin, Vi melanjutkan perkataannya, "Sebenernya hari ini Deska ngajak jalan, tapi karena gue inget gue ada janji sama lo, jadi gue tolak."

"Deska?" tanya Fay bingung. Siapa pula itu Deska?

Vi melirik Fay sekilas. Melihat Fay yang tampak kebingungan, Vi pun menjelaskan siapa itu Deska. "Anak Manajemen, tiga tingkat di atas kita, udah mau lulus. Gue juga nggak terlalu kenal tapi dia ngajak kenalan pas gue di perpustakaan."

Mulut Fay membulat. "Sejak kapan lo deket sama Deska? Kok, gue nggak pernah tahu?"

Vi mengenyitkan keningnya sebelum menjawab pertanyaan Fay. "Sepertinya baru semingguan ini. Tapi kita cuma pernah jalan bareng dua kali, sih."

Sungguh, jika saja Fay tidak mengenal Vi bertahun-tahun, Fay pasti akan menganggap Vi adalah playgirl. Sekarang Vi dengan mudahnya pergi bersama lelaki yang Fay tidak kenal. Dulu saat Biru sedang PDKT dengan Vi, tidak terhitung seberapa sering mereka terpaksa pergi bertiga karena Vi malu dan gugup jika hanya berdua saja dengan Biru. Untunglah, Biru tidak masalah dengan hal itu selama Vi senang dan nyaman bersamanya.

"Wah, hebat banget. Lo sekarang gampang kenalan dengan orang baru. Dulu biasanya lo udah kabur duluan."

"Yah, bukannya lo yang bilang kalau cara untuk cepat move on adalah mencari pacar baru? Ini sekarang gue lagi membuka cakrawala seluas-luasnya biar cepat ketemu pacar baru."

Kedatangan beberapa mahasiswi lain yang masuk ke dalam kamar kecil, membuat Fay urung menyampaikan pendapatnya pada Vi. Fay masih tidak bisa memahami pola pikir Vi yang sekarang, terutama terkait dengan urusan lawan jenis.

Bisik-bisik yang mampir di telinga Fay membuatnya berhenti melamun memikirkan Vi. Fay baru sadar kalau rombongan perempuan yang baru masuk ke dalam toilet itu tengah mengamati Vi yang tengah membereskan tasnya.

Salah satu dari mereka kemudian maju dan bertanya sedikit kasar, "Lo yang namanya Violetta?"

Terkejut, Vi menoleh dan mendapati dirinya berhadapan dengan seorang perempuan yang menatapnya penuh kebencian. "Iya, maaf lo siapa, ya?"

"Gue Kananta, tunangan Deska," jawab perempuan itu tanpa basa-basi. "Gue minta lo jauhin Deska. Dia sebentar lagi sidang skripsi. Dia nggak perlu godaan macam kayak lo gini."

Mendengar tuduhan itu, Fay langsung naik pitam. Bisa-bisanya perempuan ini tiba-tiba datang dan menyerang Vi begitu saja. Fay serasa kembali ke zaman SMA dan ribut melawan geng perempuan yang berkuasa di sekolah. Bukankah seharusnya mahasiswi bersikap lebih dewasa dan tidak lagi merundung orang hanya karena masalah percintaan?

"Sorry, dia yang deketin gue duluan. Kalau lo memang tunangannya, jaga dia baik-baik, dong. Gue denger lo jadi tunangan Deska karena ortu kalian berteman. Lo sudah tanya sama dia, apakah dia beneran mau menikah sama lo?"

Perkataan Vi membuat langkah Fay yang hendak maju ke depan Vi terhenti. Astaga, Fay kira dirinya yang harus maju membela Vi karena biasanya Vi yang takut akan konflik itu akan mundur dan mengalah. Rupanya Vi sudah benar-benar berubah sehingga bisa dengan santainya membalas celaan dari orang lain seperti itu.

Tentu saja, Kananta tidak terima dengan perkataan Vi. "Dasar jalang! Lo segitu gatelnya jadi cewek? Apa semua cowok di kampus ini udah lo cicipin, sampai tunangan orang aja lo rebut? Pantes aja Biru ninggalin lo. Jangan-jangan lo hyper sampai dia nggak tahan lagi? Atau lo ketauan kebanyakan main sama cowok lain?"

Mendengar nama Biru, raut wajah Vi sedikit berubah. Tapi dengan cepat, ekspresi itu hilang dari wajahnya. Hanya Fay yang mengamati Vi lekat-lekat yang melihat perubahan itu. Ah, nampaknya walaupun Vi sudah banyak bertemu lelaki lain, tetap Biru yang ada di hati Vi.

"Gue denger dari Anjani kalau dia malah terlalu posesif sama Biru. Sekarang, dia kayak betina lagi horny, semua cowok diembat." Perempuan yang berdiri di belakang Kananta ikut angkat berbicara.

"Eh, jaga bacot lo! Jangan sembarangan ngerusak nama orang!" Fay membalas dengan berang. Fay kemudian menunjuk ke arah Kananta. "Lagian bener kata dia, kalau itu cowok beneran cinta sama lo, dia nggak akan ngelayap ke cewek lain!"

"Temen lo aja kegatelan minta digaruk sama laki orang!" teriak Kanata emosi. Wajahnya merah padam dan tampak urat-urat di keningnya menonjol.

Vi hanya mengangkat alisnya dan berkata, "Gue nggak ngapa-ngapain sama laki lo. Hati-hati sama apa yang lo pikirkan. Kalau lo merasa gue akan ngerebut tunangan lo, bisa jadi gue rebut beneran."

"Bitch!" Tangan Kananta melayang dan suara keras terdengar saat pipi Vi menjadi sasaran tamparan Kananta.

"Cewek gila!" Fay meringsek maju dan hendak balik menampar Kananta. Namun, Vi menarik lengan Fay yang sudah terangkat untuk mencegahnya. Sementara itu, kedua teman Kananta juga menahan Kananta yang tampaknya sudah gelap mata dan ingin terus maju menyakiti Vi.

"Sudah biarin aja. Gue nggak apa-apa, kok."

"Gimana nggak apa-apa? Pipi lo sampai merah gitu." Fay dengan khawatir meraba pipi Vi. "Sakit, ya? Gue harus bales perbuatan dia. An eye for an eye."

Vi tertawa kecil dan menggelengkan kepalanya. "Biarin aja." Vi kemudian menarik lengan Fay dan berjalan keluar meninggalkan Kananta yang masih berteriak memakinya.

"Gue rebut juga baru tahu rasa dia," gumam Vi pelan, membuat Fay tidak terlalu jelas mendengarnya.

"Apa, Vi? Lo bilang apa barusan?" tanya Fay berusaha memahami perkataan Vi.

Baru juga berjalan beberapa langkah keluar kamar mandi, langkah Vi tiba-tiba terhenti. Tentu saja hal itu membuat Fay terhuyung hampir menabrak Vi. Untunglah Fay berhasil menghentikan dirinya sendiri walau keningnya sempat terantuk bagian belakang kepala Vi sedikit. "Aduh, kalau mau berhenti bilang, dong. Tadi main seret aja, sekarang berhenti dadakan."

Vi tidak langsung menjawab Fay. Kening Fay berkerut saat dia merasakan cengkraman Vi di lengannya makin menguat. Saat Fay mendongakkan kepalanya, barulah dia sadar mengapa Vi berhenti. Tampak dua manusia yang mungkin saat ini adalah sosok yang paling tidak ingin dilihat Vi.

Makian Kananta masih terdengar dari dalam kamar mandi. Vi tersenyum gugup. Dilepaskannya lengan Fay dan dengan tangan sedikit bergetar, Vi berpura-pura membenarkan syalnya. "Hai, Anjani. Hai, Biru." 

Kecubung WunguTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang