"Apa yang gue bilang? Kananta baik-baik saja." Vi menunjuk sosok Kananta yang berjalan cepat menuju ke gedung Administrasi. Menepati janjinya pada Fay, Vi memimpikan Deska dan Kananta kemarin malam. Tentu saja, Vi memilih Kananta sebagai korbannya.
Hanya saja, pagi ini Vi tidak berminat meladeni Deska. Sedari pagi, Deska gencar menghubunginya tapi tidak juga Vi balas. Diam-diam, Vi bersyukur bahwa dirinya tidak terbangun di pelukan Deska pagi tadi. Tidak semua peristiwa yang dialaminya Vi ceritakan pada Fay kemarin. Merasa malu dan takut Fay akan melihatnya sebagai perempuan binal, Vi sengaja tidak menceritakan bahwa biasanya dia akan terbangun di pelukan lelaki yang dipilihnya. Jika Vi tidak terlalu menyukai lelaki itu, terkadang Vi terbangun di kamarnya sendiri, seperti yang terjadi kemarin malam.
"Oh iya. Dia sepertinya masih hidup dan baik-baik saja." Fay menghembuskan napas lega. Semalaman dia khawatir dan mengulang-ulang cerita Vi. Fay sangat takut jika tiba-tiba saja Kananta menghilang atau, amit-amit, ditemukan meninggal dunia. Kalau begitu, mungkin benar sahabatnya ini sudah mengalami penyakit gangguan mental. Alam bawah sadar Vi mungkin menciptakan sosok alternatif yang bisa membuat Vi bebas melakukan hal-hal yang biasanya tidak pernah dia lakukan sebelumnya. Alam bawah sadarnya juga memproyeksikan rasa tidak nyaman dan ketakutan Vi, lalu membuat Vi melawan rasa takutnya itu dalam bentuk pengorbanan.
"Lo masih ingat Kresna?" tanya Vi tiba-tiba. Diacungkannya ponsel yang tergenggam di tangannya. "Dia sesekali masih kontak gue."
"Inget, dong. Semestinya dulu lo terusin PDKT sama dia aja. Kayaknya dia tertarik sama lo tapi karena lo nggak kasih sinyal positif, dia jadi mundur teratur." Fay menaik-turunkan alisnya menggoda Vi. "Kresna itu nggak kalah oke dibandingkan sama Biru, malah menurut gue lebih matang Kresna daripada Biru. Kresna masih muda tapi udah jadi dokter, lumayan mapan, cakep juga, dan kayaknya tipe cowok perhatian."
Vi tersenyum masam. "Waktu itu gue belum minat ketemu orang baru."
"Kalau sekarang? Mungkin dia masih berharap sama lo. Kalau nggak, buat apa juga dia masih kontak," kejar Fay yang tidak rela gacoannya kalah. Daripada Vi direbutkan oleh para lelaki di kampus yang masih belum dewasa, Fay lebih memilih Vi bersama lelaki yang bisa mengayomi dan membuatnya nyaman.
"Gue kira gue udah siap. Gue bahkan udah berusaha membuka diri." Vi memutar-mutar cincin bermata Snowflake Obsidian yang tersemat di jari manis kirinya. Tema dandanan Vi hari ini adalah polkadot. Gaun midi hitam dengan bintik putih melekat manis di badan Vi. Fay heran juga dengan Vi yang selalu bisa menemukan aksesoris kristal yang senada dengan pakaiannya, seperti kristal berwarna hitam dengan motif snowflake putih keabuan yang dikenakannya hari ini.
"Sayangnya, ternyata gue masih belum bisa melupakan Biru," ujar Vi sedih. Dadanya terangkat saat Vi menghela napas panjang dan perlahan dihembuskannya. "Melihat Biru bareng sama Anjani ternyata masih menyakitkan."
"Lo nggak mau bermimpi tentang Biru dan 'berkorban'?" tanya Fay ragu. Ya, dia tahu kalau dia masih belum bisa mengerti apa yang terjadi pada Vi dengan segala mimpi dan pengorbanannya itu. Tapi, mungkin jika Vi bisa memimpikan Biru, Vi akhirnya bisa terbebas dari belenggu cinta itu.
"Kalau misalnya ternyata Biru nggak balik sama gue, gimana?" tanya Vi penuh keraguan. "Mungkin ini sebabnya gue sampai sekarang nggak berani mimpi tentang Biru. Gue takut kalau nanti ternyata Biru nggak balik juga sama gue."
"Yah, untuk tahu bisa terjadi apa nggak, bukannya hanya bisa terbukti saat lo lakukan hal itu?"
Perkataan Fay membuat Vi terus memikirkan hal itu saat dirinya sudah sampai di rumah. Hari ini berlalu cepat tanpa disadarinya karena Vi seperti bergerak autopilot mengikuti kelas tapi tidak mendengarkan apapun. Vi juga tidak mood untuk bertemu salah satu penggemarnya sehingga dia memilih mematikan ponsel dan langsung pulang.
Vi menggelitik perut Snowy yang mendengkur bahagia sembari kembali memikirkan apa yangj Fay katakan tadi. Ya, Vi senang mendapatkan perhatian dari semua lelaki yang mendekatinya. Namun, terkadang Vi merasa kotor saat terbangun di ranjang yang berbeda dan tidak sepenuhnya ingat bagaimana dia sampai di sana dan apa yang dia lakukan. Vi lelah dan hanya ingin bersama dengan satu orang saja yang bisa mengerti dirinya apa adanya.
Perlahan, Vi meletakkan kepalanya ke atas bantal. Snowy yang ingin Vi terus mengelusnya, memutuskan untuk ikut bergelung di samping Vi. Dengan penuh kasih sayang, Vi mengelus kepala Snowy yang mendengkur semakin keras. Sepertinya hanya Snowy satu-satunya jantan di hidup Vi yang menyayangi Vi tanpa ada udang di balik batu. Dengkuran Snowy yang teratur membuat mata Vi semakin berat. Tidak kuat lagi menahan kantuk, Vi pun jatuh tertidur.
"Cah Ayu, kamu belum puas, toh?" Nyi Wulung duduk di depan Vi. Tangannya memegang cangkir teh yang mengepulkan uap panas. Vi memandang ke sekitarnya. Dia tertawa kecil saat menyadari teras tempatnya duduk bersama Nyi Wulung mirip sekali dengan teras rumah Sekar. Ternya halusinasi Vi sudah sedemikian hebatnya sampai bisa menciptakan latar yang sangat mirip dengan dunia nyata.
"Kamu masih ingin lelaki itu?"
Tanpa disebutkan namanya pun, Vi sudah tahu bahwa Biru adalah lelaki yang dimaksudkan oleh Nyi Wulung. "Iya, aku ternyata belum bisa melupakan cintaku padanya."
Nyi Wulung mendorong cangkir teh yang ada di atas meja ke arah Vi. "Pinarak, Cah Ayu. Minum teh dulu biar tenang."
Dengan patuh, Vi mengambil cangkir teh itu dan menyeruput isinya. Cairan hangat membasahi kerongkongannya, membuat tubuhnya ikut merasa hangat. Lucu juga halusinasi ini, sampai bisa memunculkan indera yang lain tidak hanya penglihatan dan pendengaran saja.
"Kamu mau berkorban lebih untuk lelaki itu?" Nyi Wulung menatap Vi dengan serius. Duduk berhadapan begitu dekat dengan Nyi Wulung, membuat Vi sadar bahwa warna bola mata Nyi Wulung tidaklah hitam atau coklat seperti warna bola mata orang Indonesia pada umumnya. Bola mati Nyi Wulung berwarna ungu gelap yang hampir mirip dengan warna hitam.
"Kalau aku masih sanggup, aku rela berkorban." Dalam hati, Vi berpikir pengorbanan macam apa lagi yang alam bawah sadarnya ini akan buat?
"Tapi aku ingin korban baru terus. Kamu mau mengorbankan lelaki-lelaki itu untukku?"
"Lelaki mana?" tanya Vi bingung.
"Semua lelaki yang kamu dapatkan dari aku."
"Ya ya, silahkan ambil saja. Aku hanya ingin Biru." Vi tidak peduli lagi dengan mereka semua. Toh, selama ini mereka hanyalah pengganti Biru. Jika Vi bisa kembali pada Biru, buat apa Vi terus bersama lelaki-lelaki itu.
"Ingat pesanku, Cah Ayu. Cinta hanya dari satu lelaki akan membutuhkan lebih banyak korban."
Nyi Wulung menunjuk ke belakang Vi. Sudah tahu apa yang terjadi setelah ini, dengan tenang Vi membalikkan badannya. Mata Vi membesar saat melihat deretan orang yang berdiri di belakangnya.
Hazel sudah beberapa kali muncul di mimpinya tapi tentu saja Vi tidak akan mengorbankan Hazel. Fay hanya pernah muncul sekali saat Vi mendapatkan Adam dan lebih tidak mungkin lagi Vi memilih Fay sebagai korban. Perempuan yang berdiri di sebelah Fay tentu saja adalah korban yang cocok.
Vi berjalan ke arah sosok itu. Tahu bahwa dia bisa melakukan apapun di halusinasi entah mimpi ini, Vi menjambak rambut burgundy milik Anjani. Rasanya puas sekali bisa melakukan hal ini. Ingin melampiaskan semua amarahnya, Vi mengangkat tangannya dan menampar Anjani berulang kali. Tidak puas, Vi kembali menjambak dan membenturkan kepala Anjani ke tembok berulang kali. Darah muncrat saat kepala Anjani akhirnya pecah.
Tawa Nyi Wulung membahana memenuhi kepala Vi hingga Vi menutup telinganya dan memejamkan mata.

KAMU SEDANG MEMBACA
Kecubung Wungu
TerrorDunia Violetta (Vi) hancur saat mengetahui Biru memutuskan hubungan dengan dirinya dan sudah punya kekasih lain. Saat pergi healing ke Yogya, Vi bertemu dan menjadi dekat dengan Sekar, perempuan tua yang tinggal di sebelah rumah sewaan Vi. Sekar men...