BAB 11. EMERALD

7 1 0
                                    

"Hari ini lo cantik banget!" puji Adam saat mereka bertemu siang itu. Adam sengaja menunggu Vi di depan kelas Akuntansi Biaya sehingga mereka bisa pergi makan siang bersama setelah kuliah. Sepeninggal Hazel tadi, Vi langsung menghubungi Adam dan mengajaknya makan bersama. Vi sangat senang saat Adam langsung mengiyakan ajakannya.

"Thanks, jadi gue pernah nggak cantik?" goda Vi yang menjadi lebih percaya diri saat melihat Adam memandangnya penuh kekaguman. Tidak sia-sia Vi menghabiskan waktu lebih dari satu jam untuk bersiap-siap ke kampus. Rambut sebahunya ditata rapi dan mengembang sempurna. Mata coklat keemasannya tampak bersinar dibingkai eye shadow paduan coklat tua dan emas, eyeliner, dan maskara kecoklatan. Lipstik bernuansa oranye dan coklat membuat wajah Vi terlihat terang dan lebih glowing. Kaos oversize yang membalut tubuh Vi sebenarnya memiliki potongan biasa saja, tapi warnanya yang hijau emerald sangat cocok dengan tone warna Vi yang warm autumn. Vi bersyukur dirinya mengikuti paksaan Hazel untuk mengecek tone warna apa yang cocok dengan dirinya saat mereka make over di Yogya dulu.

Adam buru-buru menggelengkan kepalanya. "Lo selalu cantik di mata gue. Tapi hari ini lo ekstra cantik!"

Hidung Vi seperti terbang ke atas mendengar pujian Adam. Sayangnya, Vi harus cepat kembali menginjak bumi saat suara dehaman yang sangat familer terdengar di belakang mereka.

"Permisi," kata pemilik suara itu sembari maju ke depan. "Pacarannya bisa agak di pinggir aja?"

Dengan wajah merah padam, Vi maju beberapa langkah dan membiarkan Biru masuk ke dalam kelas. Entah untuk urusan apa Biru di kelas itu karena seharusnya setelah ini adalah jam makan siang dan tentu saja tidak ada kuliah lagi di kelas itu. Mungkin dia hendak bertemu dengan dosen AkBi yang masih ada di dalam kelas. Ah, tapi itu bukan urusan Vi lagi, bukan?

Hanya saja, apakah Biru tidak menyadari perubahan Vi? Jika Hazel yang biasanya tidak peduli saja bisa sampai menyadari bahwa penampilan Vi begitu berbeda, apakah Biru sama sekali sudah tidak peduli? Dulu Vi lebih sering mengenakan pakaian warna gelap dan monokrom, apakah sekarang warna hijau seperti ini tidak membuat Biru menganggap Vi sedikit lebih cantik daripada dulu?

Dasar bodoh! Vi menertawakan dirinya sendiri dalam hati. Tentu saja Biru tidak peduli. Bukankah dia bisa langsung pacaran dengan Anjani saat air mata Vi saja belum kering? Buat apa dia peduli pada perempuan yang sudah dicampakkannya?

"Lo nggak apa-apa?" pertanyaan Adam membuat Vi sadar bahwa dirinya sedang bersama Adam yang kini menatapnya penuh khawatir. "Dia mantan lo, kan?"

"Eh, lo tahu tentang gue sama Biru?" Vi balik bertanya dengan kaget.

Adam tertawa kecil dan berkata santai, "Gimana nggak tahu? Kan, dunia kampus itu kecil." Melihat Vi yang sedikit salah tingkah, Adam kembali melanjutkan perkataannya, "Itu semua sudah masa lalu. Yang lebih penting sekarang adalah masa depan."

Adam menyodorkan telapak tangan kanannya pada Vi. Awalnya, Vi bingung apa maksud Adam. Namun, saat Adam menarik tangan kiri Vi dan meletakkannya di atas tangannya, barulah Vi sadar. Adam tersenyum dan menggenggam tangan Vi.

Bagai kerbau dicocok hidungnya, Vi ikut saja saat Adam berjalan meninggalkan kelas sambil menggenggam tangannya. Jantung Vi berdegup kencang dan Vi diam-diam berharap dirinya tidak keluar keringat dingin karena gugup bergandengan tangan dengan Adam yang sesungguhnya bukan, ralat, belum menjadi pacarnya itu.

"Mau makan apa? Mau ke kafe yang waktu itu gue bilang?" tanya Adam seperti tidak terjadi apa-apa. "Gue ada kuliah lagi jam dua. Kalau lo, kayanya udah habis kuliahnya?"

Vi menganggukkan kepala sembari masih berusaha mengatur detak jantungnya. "Iya, AkBi kelas terakhir gue hari ini. Gue di kampus sampai sore, sih. Rencananya nanti sore mau jalan sama Fay yang minta ditemenin ke mall beli baju."

Kecubung WunguTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang