BAB 6. AMETHYST

13 2 0
                                    

"Let's do this," desah Vi sembari menghela napas panjang. Semester baru sudah tiba dan saatnya kembali ke dunia nyata. Hari ini adalah hari pertama masa kuliah baru dan Vi tengah menguatkan hati untuk pergi ke kampus. Jika boleh, Vi ingin cuti saja demi menghindar dari Biru. Namun, tentu saja itu hanya impian belaka. Mana boleh Vi mengajukan cuti hanya karena hal remeh seperti itu?

"Pergi dulu ya sayangku yang manis, jangan nakal selama Mommy pergi." Dengan penuh kasih sayang, Vi mengelus bulu putih Snowy, kucing Persia berbulu putih, yang dulu dihadiahkan Biru padanya. Dulu, bermain bersama Snowy selalu membuat Vi bahagia dan merasa dimanja. Sekarang, rasa sedih bercampur sedikit penyesalan menyeruak setiap kali Vi melihat Snowy. Dasar melankolis, sepertinya semua hal selalu mengingatkan Vi pada Biru.

Snowy mengeong manja dan terus minta dielus oleh Vi. Mungkin anabul manja satu ini kangen dengan pemiliknya. Selama Vi di Yogya, mau tidak mau Snowy harus dititipkan di Pet Hotel karena tidak ada seorang pun di rumah. Dengan berat hati, Vi mengangkat Snowy dan hendak memasukkannya ke kendang. Tapi entah kenapa tiba-tiba saja Snowy memberontak dan berusaha lepas dari gendongan Vi.

"Aduh!" Vi mengerang saat Snowy membenamkan kuku tajamnya ke tangan Vi. Otomatis, Vi melepaskan Snowy yang langsung melesat lari masuk kembali ke kamar Vi. "Snowy! Duh, ini bocah malah kabur."

Mau tidak mau, Vi kembali ke kamar. Erangan Vi kembali berkumandang saat dirinya melihat Snowy masuk ke dalam koper yang kini terbuka lebar dan sibuk mengacak-acak isi koper itu. Vi memang masih malas membereskan koper yang dibawanya ke Yogya kemarin. Koper dan hampir semua barang yang dibawanya dari Yogya masih tergeletak di pojokan kamar. Hanya beberapa barang esensial seperti toiletries dan baju dalam yang sudah kembali pada tempatnya di lemari.

"Snowy! Jangan acak-acak koper, dong! Ayo sini!" Tangan Vi terulur untuk memegang tubuh Snowy dan mengangkatnya dari koper. Tapi Snowy malah menggeram dan cakarnya kembali melayang. Untung saja Vi sigap menarik tangannya sehingga tidak terkena sasaran cakaran Snowy lagi.

"Kamu kenapa, sih? Kok jadi galak banget hari ini?" Vi memandang Snowy yang kembali sibuk di dalam koper. Kepala mungilnya sibuk mengendus-endus barang yang ada di koper, cakarnya pun ikut menggaruk-garuk seperti tengah mencari sesuatu. Geramannya masih terdengar sehingga Vi sedikit takut untuk mendekati Snowy lagi. Biasanya Snowy adalah kucing yang manja dan penurut. Mungkin karena dia sudah berusia hampir satu tahun atau setara dengan usia remaja manusia, Snowy mulai bandel seperti ini. Tapi, kenapa bandelnya sekarang saat Vi harus segera pergi ke kampus?

Vi mendecakkan lidahnya dan kembali menjulurkan tangannya perlahan supaya Snowy tidak kaget. Pelan-pelan, Vi terus mendekat dan dengan sigap diangkatnya Snowy dari koper. Snowy mengeong marah dan berusaha melepaskan diri dari Vi.

"Eh, bawa apa kamu?" Pandangan Vi jatuh pada kantong blacu yang setengah di koper dan setengah tersangkut di kuku tajam Snowy. Begitu Vi menanyakan hal itu, dengan anehnya Snowy langsung diam dan tidak lagi memberontak. Walau heran dengan tingkah laku Snowy, perhatian Vi lebih tertuju pada kantong blacu itu. Diraihnya kantong yang tersangkut di koper dan Snowy lagi-lagi tidak memberikan reaksi apapun.

"Wah, ini kan cincin dari Mbak Sekar."Melihat kantong itu, Vi teringat pada cincin Amethyst atau kecubung yang diterimanya dari Sekar. Saat berkemas untuk pulang ke Jakarta, Vi yang tidak punya tempat perhiasan, dengan asal menyimpan cincin itu di kantong blacu yang didapatkannya dari toko souvenir. Jika tidak dibawa oleh Snowy, mungkin Vi baru ingat cincin itu saat membongkar koper entah kapan.

Snowy mengeong pelan saat Vi dengan hati-hati melepaskan Snowy. Bukannya kabur lagi, Snowy malah menggosok-gosokkan tubuhnya ke kaki Vi sembari mendengkur. Puas memberikan tanda pada Vi, Snowy berbaring di lantai dan mulai menjilati tubuhnya. Vi hanya menggelengkan kepalanya melihat tingkah laku Snowy yang sembarangan itu.

Vi berjalan menuju ke meja rias dan dengan perlahan menuangkan isi kantong ke telapak tangannya. Cincin kecubung itu mendarat dengan mulus di telapak tangan Vi. Bulu kuduk Vi meremang begitu dirinya merasakan hawa dingin dari cincin itu.

"Cantik." Diangkatnya cincin kecubung itu dan Vi kembali mengagumi desain klasik dari cincin itu. Cahaya matahari dari jendela di samping meja rias jatuh mengenai batu kecubung, menyebabkan seperti ada bias ungu berpendar indah. Vi kembali terheran-heran dengan Sekar yang memberikan cincin berharga ini padanya. Seharusnya barang antik seperti ini menjadi warisan turun-temurun di keluarga, bukan diberikan ke orang asing.

"Apakah aku pantas memakai cincin ini?" tanya Vi pada bayangannya di kaca. Perlahan, Vi mengenakan cincin itu di jari manisnya dan mengangkat tangannya yang sudah berhiaskan cincin. Vi tersenyum saat melihat tangannya seperti bertambah cantik hanya dengan tambahan cincin itu. Lamat-lamat, terdengar gending Jawa mengalun merdu. Namun, Vi tidak peduli dan terus terpesona memandangi cincin di jarinya.

"Cah Ayu, wujudkan keinginanmu. Jadikan semua lelaki yang kamu inginkan menjadi milikmu." Bisikan itu seperti terbawa angin dan mampir ke telinga Vi. "Siapapun yang kamu mau bisa kamu dapatkan."

Bayangan Biru yang melambaikan tangan dan tersenyum lebar tiba-tiba muncul di benak Vi. Kenangan saat kencan pertama mereka pun berkelebat dan timbulkan rasa rindu. Vi masih teringat wajah Biru yang sedikit tersipu saat kali pertama lelaki itu menggandeng tangannya. Pelukan Biru yang selalu membuat Vi merasa aman, membuat Vi ingin kembali bertemu lelaki itu. Seandainya saja Biru terus menjadi kekasihnya.

"Dia bisa menjadi milikmu lagi. Tidak hanya dia, tetapi lelaki-lelaki lain juga bisa kamu miliki," bisik suara perempuan yang entah dari mana datangnya tapi Vi tidak lagi memikirkan hal itu. Vi terlalu hanyut dengan kenangannya akan Biru. "Apakah kamu mau?"

Perlahan Vi menganggukkan kepalanya. Matanya masih tampak kosong dan terpaku pada cincin yang dikenakannya. Di mata Vi, cincin itu seperti bersinar semakin terang. Gerakan yang tertangkap di sudut matanya, membuat Vi mengalihkan pandangannya. Samar, tampak sosok perempuan berkebaya ungu berdiri di belakang Vi. Mata mereka bersirobok di cermin, membuat napas Vi tercekat takut.

"Meooong!" Suara Snowy yang kembali menggosok-gosokkan tubuhnya ke kaki Vi membuat Vi terlonjak kaget.

"Astaga!" Vi mengerjapkan matanya dan bayangan perempuan itu tidak lagi terlihat. Jantung Vi berdebar kencang saat teringat senyuman dingin yang tersungging di wajah perempuan itu.

"Eh, jam berapa sekarang, kenapa gue masih di rumah." Dengan panik, Vi mencari tas ranselnya dan mengeluarkan ponsel. Matanya terbelalak saat melihat satu jam lagi kuliahnya akan dimulai. "Aduh, telat gue!"

Dengan terburu-buru, Vi meraih Snowy yang tidak lagi memberontak. Vi memasukkan Snowy ke dalam kandang dan memastikan semua kebutuhannya tersedia, mulai dari air, makanan, hingga pasir untuk tempatnya membuang kotoran. Dengan tergesa, Vi pergi ke arah mobilnya yang sudah terparkir di depan rumah. Benaknya sudah terlalu kalut untuk memikirkan rute terbaik menuju kampus dan lupa bahwa cincin kecubung itu masih tersemat manis di jarinya. 

Kecubung WunguTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang