15|Pandangan yang sama

16 4 0
                                    

Selamat menikmati ceritanya-!

Ace berkali-kali berdecih tidak suka kala matanya sekilas melihat Izora tengah menyemangati dirinya dan Zegar bergantian. Sudah jelas Ace cemburu, ia hanya ingin namanya yang selalu gadis manis itu ucapkan.

"Ketua, fokus!" kata Alex melihat sahabatnya sejak tadi kehilangan konsentrasinya.

Ace menoleh, "sialan!" umpatnya kesal dan berlalu merebut bola dari sang lawan di depan sana.

Alex yang tertinggal hanya bisa menghela napas. "Susahnya jadi orang bucin!" gumamnya.

.....

Izora tersenyum seraya mendekati Ace yang tengah sibuk mengelap keringatnya. Sebotol air mineral Izora sodorkan agar laki-laki itu tidak terhidrasi.

Ace mengambil dan langsung meminumnya hingga habis. Haus dahaganya terpenuhi oleh sang gadis. Namun setelah itu, Ace mengalihkan pandangannya.

Izora memiringkan kepalanya merasa aneh. Ada apa dengan laki-laki ini, seperti tengah menghindarinya saja.

"Ace, semangat buat sesi finalnya! Harus menang, ya!" ujar Izora menunjukkan kedua kepalan tangannya menyemangati Ace.

Ace berdehem sebagai balasan. Dan menyibukkan dirinya dengan hal lain.

Izora melihat perubahan aneh laki-laki itu. Berkerut bingung, apa yang sebenarnya terjadi. Padahal sebelum pertandingan Ace masih terlihat baik-baik saja padanya.

Alex lewat seraya berucap, "cemburu karena lo semangati Zegar."

Izora yang mendengar perkataan Alex hanya bisa menghela napas panjang. Sepertinya tingkah kekanak-kanakan Ace tidak akan pernah lepas.

"Ace M.Ravenska, kemari!" panggil Izora lembut.

Ace menghentikan kesibukannya. Jika Izora sudah memanggil nama lengkapnya begitu, artinya gadis itu sedang memerintahkannya. Bahkan ketika Ace kesal sekalipun bila sudah dipanggil seperti itu dirinya tidak bisa membantah.

"Apa?" tanya Ace dengan nada kesal dihadapan Izora.

Senyum Izora melebar dengan tangan terangkat untuk mengelus rambut basah Ace. Walaupun sejenak itu berhasil membuat Ace memerah dan bungkam.

"Jangan cemburu gitu, ingat janji kamu mau ngasih lihat aku kemenangan dalam pertandingan ini. Kalau kamu nggak fokus dan kalah, aku marah nanti." ujar Izora menurunkan tangannya dan berbalik pergi.

Baru tiga langkah gadis itu berjalan. Izora kembali membalikkan tubuhnya. "Ace, semangat!"

Ace tersenyum melihatnya. Lalu mengangguk pasti. "Apapun buat lo, Zora."

Zegar yang melihat dari kejauhan interaksi Izora dan Ace memalingkan wajahnya. Ada sedikit kecemburuan dihatinya ketika melihat senyuman cerah gadis itu. Padahal kenyataannya Izora hanyalah orang asing yang seenaknya mengobrak-abrik hatinya.

.....

Orion memandang ponselnya sejenak lalu melemparkannya ke atas kasur. Helaan napas panjang keluar dari bibir tipisnya. Tangannya terangkat mengacak-acak rambutnya.

"Apa yang lo pikirkan Zegar!" kata Orion gusar. Teringat ancaman Ace padanya akan kelakuan sang adik tirinya.

Orion sudah menduga ini akan terjadi. Orion menyadari bila wajah Izora sekilas mirip dengan almarhum Aila. Mulai dari senyuman cerah itu, sikap lemah lembut, dan mata sayu yang menatap teduh setiap orang.

Orion tidak bisa berdiam diri seperti ini. Ia mulai melangkahkan kakinya keluar dari kamar untuk menjumpai sang adik tiri dilantai bawah. Setidaknya Orion harus menyadarkan Zegar dan memberikan peringatan kecil.

Sesampainya di depan kamar Zegar. Orion menarik pintu knop pintu untuk masuk, akan tetapi niatnya tertahan kala mendengar sesuatu.

"Aila...maaf."

Orion mengintip sedikit dari balik pintu untuk melihat apa yang baru saja ia dengar. Terasa asing mendengar suara menyedihkan itu keluar dari Zegar.

Zegar tampak kesulitan bernapas dalam tidurnya. Dengan tangan mencekam bantal guling yang dipeluknya. Keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya. Benar, laki-laki itu terlihat sedang bermimpi buruk.

"MAH, JANGAN TINGGALIN ZEGAR!" teriak Zegar yang langsung terduduk dengan mata terbuka lebar. Tangannya yang mengudara seakan ingin menggapai sesuatu berundur menurun.

Zegar mulai mengatur napasnya yang terasa sesak. Air matanya yang telah berkumpul dipelupuk mata mulai berjatuhan. Kepala Zegar tertunduk bersamaan dengan itu matanya memancarkan ketakutan.

Badan Orion membeku ditempat sembari matanya yang tidak kunjung lepas menatap Zegar. Orion mengepalkan sebelah tangannya. Hatinya mencelos begitu saja melihat semuanya. Rasa sakit yang seharusnya bisa Zegar bagi padanya sebagai kakak, tidak bisa tersampaikan dengan mudah.

"Sialan, gue benci rasa ini!" gumam Orion tanpa bersuara. Niatnya urung seketika membuat suasana hatinya bertambah buruk. Segera Orion pergi sebelum Zegar menyadari dirinya.

.....

Zegar tersenyum lebar seolah mengejek dirinya sendiri yang sangat menyedihkan. Tangannya menghapus kasar air mata yang mengalir dari matanya. Perlahan kakinya beranjak dari kasur untuk menuju balkon kamarnya.

Zegar berhasil merasakan hawa dinginnya udara malam yang menembus kulitnya. Perih yang menjalar dipunggungnya mulai kembali terasa. Zegar belum sempat mengobati luka cambuk dari sang Papa dan lebih memilih mengistirahatkan tubuhnya dengan tidur.

Zegar menumpukan kedua tangannya pada pembatas balkon kamarnya. Lalu mulai menyalahkan rokoknya. Matanya terpejam menikmati keheningan yang menenangkan baginya.

"Mah, Zegar kangen," ucap Zegar tersenyum lembut. Begitu tulusnya ia mengucapkan kalimat singkat yang sejak lama selalu menyentil relung hatinya.

Zegar membuka matanya lalu melihat gemerlapan malam. Mencari sang bintang yang paling redup diantara bintang lainnya. "Yang mana Mama? Bintang yang paling asing disebelah sanakah? Atau bintang yang bersinar paling kecil diantara kelompok bintang paling terang?" tanyanya penuh penasaran.

"Seandainya Mama nggak ninggalin Zegar sekarang, mungkin kita  masih bersama sampai sekarang." keluh Zegar tersenyum melihat sang bintang.

Zegar kembali mengisap rokoknya. Membiarkan kepulan asap mengudara bebas di sekitarnya.

Memori kecil yang indah itu masih membekas jelas di kepala Zegar. Bagaimana sang Mama yang selalu menyambutnya dengan senyum manis disetiap paginya. Obrolan ringan yang selalu menyapanya sehabis pulang sekolah. Atau mungkin pelukan hangat yang seolah-olah menjaganya dan mengapresiasinya dalam satu waktu. Ah, rasanya Zegar merindukan semua yang melekat pada sang Mama yang begitu berarti dalam hidupnya.

"Tapi itu cuman kata yang nggak bakal mungkin bisa di putar ulang. Mah, sekarang gimana? Udah sembuh hatinya?" tanya Zegar pada bintang diatas sana.

Zegar menarik napas dalam untuk mengisi paru-parunya yang terasa sesak, "Zegar minta maaf ya, Mah. Karena tangan jagoan Mama ini sudah kotor."

Bibir tipis itu bergetar dengan lengkungan yang mulai menurun, "Zegar pembunuh, Mah."

Zegar memejamkan matanya dengan setetes air mata yang mulai turun dari kedua kelopak mata tajamnya.

"Gadis tuli korban kegilaan Zegar itu Aila Tamara, Mah."

Bersambung-!

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 02, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Izorace:Sea SecretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang